Selayar Kecipratan Dana Adhoc

Di awal tahun 2006 ini, dari sekian banyak berita kurang berkenan menyelimuti perjalanan kehidupan bangsa ini, beberapa kabupaten/kota di Sulsel patut bernafas lega. Daerah ini "bernasib" baik dengan adanya kucuran dana adhoc dari pusat. Sedikit banyak bisa memperbesar ruang gerak memikirkan peletakan prioritas penbangunan yang akan digarap. Dana adhoc yang mengalir ke daerah Sulsel bersama Sulbar mencapai total nominal Rp.27,49 Milyar.

Dana adhoc 2006 ini adalah sejenis dana bantuan khusus yang bersumber dari Menteri Keuangan RI, yang dikucurkan bersamaan dengan penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran(DIPA) 2006. Dana-dana ini tentu dari kas negara, yang boleh disebut "sumbangan daerah-daerah kaya" kepada daerah kekurangan. Artinya, yang menerima-pun sepantasnya tidak terlalu bergembira, apalagi sampai syukuran pesta dangdutan tiga hari tiga malam misalnya. Harus ada moral "malu" untuk menerimanya. Sebagai wujud dasar dari rasa malu, dana-dana ini harus benar-benar sampai ke tujuan yang semestinya. Dan bisa memacu diri untuk sedikit-sedikit bisa mengurangi ketergantungan-ketergantungan itu.

Seperti dilangsir oleh Fajar, Drs. Syahrir Wahab, bupati Selayar pun tidak bisa membendung rasa syukurnya mendengar daerahnya juga ikut kecipratan Rp. 2.749 Miliar dana adhoc ini. Bahkan dengan jujur sang Bupati mengakui daerahnya sebagai daerah miskin, tertinggal, dan terisolir. Sebuah pengakuan yang jujur terutama kalau diucapkan manakala bukan pada jeda waktu pembagi-bagian dana adhoc. Apalagi dengan kesadaran itu, mereka-mereka para pemimpin daerah all out memeras potensi yang mereka miliki masing-masing untuk merilis jalan menuju perbaikan kwalitas kehidupan masyarakat daerah.

Pengakuan akan keadaan diri sendiri yang miskin, cenderung berwajah serakah, bila hanya bisa terucap dikala ada bagi-bagi anggaran dari pusat. Jenis kesadaran seperti itu sebetulnya merupakan tingkah yang sangat tidak bermartabat. Tidak ada bedanya dengan fenomena meningkatnya jumlah keluarga miskin saat pendataan penerima sumbangan dari kompensasi kenaikan BBM belum lama ini. Toh dari sudut religi, dinul Islam-pun mengajarkan, bahwa tangan di atas jauh lebih mulia dari tangan di bawah. Bahkan agama ini tidak suka ummat-nya miskin, karena kemiskinan cenderung menyeret individunya ke arah kekufuran.

Lalu haruskah kita memaksakan diri mengaku kaya sementara keadaan yang sesungguhnya miskin? Sama sekali tidak. Toh orang lain-pun dengan gampang bisa menilai kita dengan wajah yang serba kumuh, yang tidak mungkin bisa ditaburi bedak secara keseluruhan, seterusnya. Jadi, kita tidak dituntut untuk lihai bersandiwara. Yang menjadi keharusan, tidak lain dari sebuah kekonsistenan dalam bersikap. Dan kemauan mutlak untuk memperbaiki diri. Tentu dengan kebijakan-kebijakan yang tidak hanya bermuara kepada keuntungan segelintir keluarga dan kenalan dekat, tapi secara keseluruhan nyawa-nyawa yang menjadi tanggung jawab wilayah kepemimpinan kita.

Penulis mempunyai istilah, "Uchi wa bimbo dakara". Yang artinya kurang lebih, "Karena kami miskin". Sebuah pengakuan bocah-bocah ingusan negeri sakura dalam me-rem sifat konsumtif yang memang sudah menjadi pemandangan wajar dalam kehidupan sehari-hari. Sebetulnya sifat ini yang jauh lebih penting dari sekedar menghambakan diri memelas minta uluran tangan berupa jatah anggaran dari pusat. Sadar akan kemelaratan diri sendiri dalam wujud yang semestinya akan berimbas kepada 2 sikap positif dalam melangkahkan kaki ke depan.

Prioritas Oriented
Bersikap selalu berhati-hati dan memikirkan masak-masak sebelum "menghamburkan" anggaran yang ada. Dan yang pertama dibentuk adalah hierarchy pekerjaan rumah berdasarkan tingkatan prioritasnya masing-masing. Semisal dalam level individu, Bagan-bagan urutan "sandang"-"pangan"-"papan" harus utuh seutuh-utuhnya dulu. Setelah itu baru merogok kantong untuk meraih sandang dulu. Kalau recehan masih nyisa, baru ke tingkat berikutnya, dan demikianlah seterusnya.

Dalam tingkatan komunitas seperti daerah, negara, teori di atas pun bisa diterapkan. Tapi kenyataannya, kadang kita lupa diri. Ibarat membeli parfum Tiffany atau channel, sementara makanan rutin keseharian hanya nasi putih dengan ikan kering berdandan cabe merah sebagai sambal penguat rasa. Meloloskan proyek-proyek berteknologi canggih nan mahal, tapi pada kelanjutannya justru kurang mampu termanfaatkan. Ironis memang, tapi adegan seperti ini sungguh banyak menghiasi alur cerita pemerintahan di seluruh penjuru negeri ini.

Pemacu untuk maju
Keinginan untuk melengkapi segala kebutuhan adalah sebuah naluri alamiah. Kesadaran akan kemisikinan diri, dengan sendirinya akan memacu diri untuk maju. Itu kalau apa yang ada diubun-ubun ini adalah jiwa-jiwa yang positif. Kalau yang ada adalah sifat yang sebaliknya, justru sifat serakah dan menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi yang muncul. Hal ini pun tidak sedikit kita bisa saksikan di seantero negeri ini.

Kemajuan pesat sebuah negara yang bernama Korea Selatan, sedikit banyak berawal dari kesadaran diri sangat jauh tertinggal dari negara tetangga, Jepang. Itu jadi katalis penggerak untuk maju, dan bukan untuk menghambakan diri. Hasilnya,bisa kita saksikan saat ini. Perkembangan ekonomi dan teknologi negeri gingseng itu maju pesat, bahkan membuat saudara tuanya Jepang, merasa "ketakutan" tersaingi.

Kembali kepada dana adhoc yang mengalir ke kantong daerah Selayar, jumlahnya tidaklah tergolong besar sekali. Kalau Syahrir bilang, dana itu terbilang masih kecil. Oleh karena itu, tentu lebih dituntut sebuah kejelian dan kreativitas untuk menyusun prioritas yang jitu, sehingga dampaknya lebih luas dirasakan oleh masyarakat banyak, walaupun sebetulnya mayoritas masyarakat ini tidak tahu menahu dengan tetek bengek sesuatu yang bernama dana adhoc. Namun Syahrir sempat menambahkan komentarnya kepada harian Fajar, bahwa dana itu akan dimanfaatkan untuk membangun sejumlah sektor, terutama infrastruktur pengairan, jalan, listrik, dan pendidikan.

Walau masih sangat ngambang akan arah pemanfaatan dana-dana ini, minimal Bupati sudah punya area bayangan kotak-kotak sebagai tempat meletakkan mata-mata dadu yang sudah terbentuk duluan sebagai output dari anggaran dadakan ini. Akan tetapi, tatkala disebutkan juga bahwa "saya masih menunggu arahan dulu dari pusat", kekhawatiran akan ada tidaknya gambaran kongkrit apa-apa yang semestinya lebih dulu digarap, secara otomatis muncul di kepala. Bukankah kita yang seharusnya jauh lebih tahu tentang apa sebetulnya kebutuhan urgen yang dihadapi masyarakat. Lalu kenapa bukan kita yang justru mengajukan usul ke pusat, dan bukan justru pasif menunggu arahan. Atau ada maksud lain? Hanya Bupati mungkin yang lebih tau. (AF, Jakarta, 13 Januari 2005)

#### Artikel ini sudah pernah dimuat di www.selayar.com ####

HermanLaja.COM