Tgl 28 Oktober lalu, di Kereta dalam perjalanan untuk mengadakan rapat di tempat komsumer proyek yang kami tangani, rekan kantor di dekat saya bertanya, " Apa saja yang tidak diperbolehkan dalam hari-hari saat berpuasa dalam Islam?".
Dengan nada yakin saya langsung menjawab,"Gampangnya, semua perbuatan yang tidak baik adalah terlarang, disamping makan-minum dan hal-hal umum yang merupakan hal-hal yang membatalkan puasa".
"Lalu kenapa, teroris di Iraq yang mengatas namakan Islam, berbuat keji terhadap tawanan-tawanan sipil mereka, termasuk membunuhnya, di bulan ramadan sekalipun?", Sang rekan melanjutkan pertannyaannya.
Saya hanya bisa berkelit,"Penafsiran beberapa perintah dan semacamnya dalam Islam, memang cukup beragam. Ada yang pernafsirannya agak keras, yang oleh barat dicap sebagai Islam fundamentalis, dan ada juga yang penafsirannya lumayan moderat. Patut anda cata juga, bahwa saya sendiri mengaku sebagai golongan Islam moderat walau bukan Islam liberal. Tapi sayapun bisa memaklumi tindakan orang-orang yang anda sebut sebagai teroris di Iraq itu. Karena saya berusaha menggali informasi dengan tidak buta sebelah, hanya sesuatu yang diedarkan oleh media-media Barat yang sudah terlanjur ditunggangi oleh kepentingan sepihak itu."
Sang rekan seakan kaget mengetahui saya ada unsur kesetujuan terhadap pembantaian yang dilakukan oleh "teroris Iraq" itu.
Lalu ocehan saya lanjutkan.
"Anda mencap mereka sebagai teroris, tapi saya menganggap mereka resistant. Orang-orang yang tidak ada bedanya dengan nama-nama harum yang masih terdengar di dalam sanubari orang-orang Indonesia, tentang "para pembangkang" terhadap penjajah pada Zaman dulu. Mereka adalah teroris dari sudut pandang penjajah. Tapi di lain pihak mereka adalah pahlawan buat orang-orang pribumi yang masih menghargai harga diri bangsanya. Mereka memang adalah bak duri-duri yang harus disingkirkan bagi penguasa-penguasa boneka penjajah. Tapi mereka-pun bisa merupakan sebuah lilin buat warga yang masih cinta sama akidah dan identitas yang mereka punya. Dilain saat mereka adalah petani-petani atau buruh-buruh yang harus menghidupi keluarga mereka, pun dilain kesempatan mereka harus memenuhi panggilan bathin untuk mengangkat senjata ala kadarnya. Mereka memang bukanlah militer resmi negara, yang dapat reward dalam keberadaannya sebagai pejuang. Tapi justru disitulah letak kekaguman saya pada mereka. Mereka insya Allah ikhlas bukan dengan imingan kedudukan dan jabatan. Dan yang jelas nyawa menjadi taruhan.
Lalu kenapa mereka nekad menghadapi lawan yang sudah pasti tidak bakalan tertandingi dari segi persenjataan, pun bisa saya mengerti. Anda bisa bercermin pada aktivis bocah-bocah Palestina yang juga "nekad" mengangkat senjata berupa gumpalan-gumpalan batu menghadapi tank-tank super canggih penjajah Israel. Atau Indonesia di jaman dulu yang juga terkenal dengan bambu runcingnya menghadapi meriam-meriam dan bedil-bedil sang kolonial.
Itulah manusia. Tatkala tekanan dan ketidakadilan yang kelewat batas menghantam dirinya, darahnya akan naik ngumpul di ubun-ubun. Apapun bisa jadi senjata. Entah itu bambu runcing pejuang Indonesia, batu-batu bocah-bocah Palestina, Bom-bom bunuh diri Intifadah, Bom-bom mobil di Iraq, atau bahkan sandera-sandera sipil oleh kelompok-kelompok pejuaan di Negeri 1001 malam itu."
Sang rekan tidak mampu mengeluarkan kata-kata lanjutan, kami sudah harus turun dari kereta karena sudah sampai ke tempat tujuan.(AF, Yokohama)