Lapang Dada, Sumber Ketenangan Jiwa

"Tidak perlu mengkhawatirkan keadaan saya. Tapi prihatinlah sama penderitaan rakyat Palestina yang tiap detik dirongrong oleh kedzaliman teroris Israel!" Kata-kata ini keluar dari mulut sang "Middle East Phoenix" tatkala beberapa LSM dan media menanyakan keadaannya ditengah kepungan alat militer super canggih si Zionis di Ramallah beberapa waktu yang lalu. Yasser Arafat, Burung nan gagah perkasa itu kini telah rontok meninggalkan segunung duka di hati rakyat terusir Palestina. Yang penyebab kematiannyapun banyak mengundang teka-teki.

Memang banyak yang pro-kontra terhadap beberapa tindakan pengusung PLO ini. Tapi setidaknya bahwa tatkala liungan suara rudal terus terngiang di atas kepalanya, masih sempat menunjukkan jiwa besarnya, memikirkan rakyat yang tiada henti menjadi obyek observasi hasil industri militer sang Adikuasa. Masih bisa lapang dada, sabar sementara tank-tank sang Zionis sudah menghancurkan sebagian bangunan tempatnya beraktivitas.

Fudhail bin Iyadh, seorang tokoh di zaman generasi Tabi'in bercerita bahwa suatu ketika, saat berada di Masjidil Haram, ia didatangi seseorang yang menangis. Fudhail bertanya,"Kenapa engkau menangis?" Orang itu menjawab, "Aku kehilangan beberapa dinar dan aku tahu ternyata uangku dicuri orang". Fudhail mengatakan,"Apakah engkau menangis hanya karena dinar itu?" Ia menjawab,"Tidak, aku menangis karena aku tahu bahwa kelak aku akan berada di hadapan Allah, dengan pencuri itu. Aku kasihan dengan pencuri itu, itulah yang menyebabkan aku menangis..."

Banyak kisah-kisah kelapangan dada dan kemudahan memaafkan dalam perjalanan hidup para salafushalih. Suatu ketika kuda Rabi' bin Khaitsam dicuri orang, tapi Fudhail malah memberinya uang 20 ribu dinar kepada Rabi'. Lalu Beliau mengatakan,"Berdo'alah kepada Allah buat yang mencuri itu." Rabi' kemudian berdo'a,"Ya Allah, jika ia orang kaya maka ampunilah dosanya, dan jika ia orang miskin maka jadikanlah ia orang kaya."

Lapang dada menuntun hidup ini menjadi tenang. Dalam menjalani hidup bermasyarakat, rasa sedih, kecewa, atau bahkan tersulut sedikit rasa amarah, menjadi kerikil-kerikil yang selalu hadir mendekati hati. Tapi bagi orang yang berhati luas, akan mampu menguasai hatinya kembali. Hati mereka tetap ridha, mata mereka tetap teduh, ketenangan mereka sama sekali tidak terusik. Betapa indahnya.

Lapang dada....., Mengucapkannya begitu gampang. Tapi implementasinya dalam kehidupan butuh kadar iman yang cukup tertempa.

Suatu saat ada seorang sanak saudara minta bantuan untuk ditambahi modal usahanya. Dengan modal "proposal" yang cukup meyakinkan, ternyata mampu meluluhkan hati keras saya. Sifat kikir saya ternyata takluk oleh untaian bla-bla-nya. Dengan berat hati saya melapor ke sang bini, kalau permintaan sang famili itu cukup realistis, dan akan saya kabulkan. Sang istri yang memang tergolong penurut, langsung mengiyakan walau diikuti kata-kata peringatan agar hati-hati, karena kita sendiri belumlah tergolong berlebih, demikian alasannya. OK, uang siap, langsung dikirim ke Indonesia dengan pos. Lalu sabang hari nelpon menanyakan apa uang-nya sudah sampai. Bulan berganti, ternyata uangnya tidak sampai-sampai juga. Ditanya ke kantor POS, dipingpong ke bea cukai, begitulah seterusnya. Padahal menurut keterangan POS di tempat saya mengirim, kirimannya sudah sampai. Sang famili sudah capek pulang-balik Selayar-Makassar, tapi urusan ini tidak pernah membuahkan hasil. Yah...., uangnya hangus menguap hilang entah kemana, entah masuk ke kantong pegawai bea cukai atau kantor POS. Padahal di keluarga, uang sebesar 17 jutaan itu tidaklah termasuk bilangan yang kecil.

Jadi "wajar", kalau saya sempat ngumpat-ngumpit sana sini. Dasar pencuri...., Kasian keluarganya dikasih makan dari duit hasil rampokan. Dan sejuta kata-kata yang tidak begitu pantas diucapkan. Tujuan saya sebetulnya ada satu, biar istri tidak balik memarahi saya. Tapi entah dapat ilham dari mana, sang istri cuman bisa nyengir, tersenyum masem-masem sambil berucap, sudahlah.... mau ngamuk juga tidak bakalan dapat memecahkan masalah. Hati sedikit lega, tidak kebagian semprot dari istri. Ternyata pepatah "Sudah jatuh dihimpit tangga" masih minder menghampiri saya.

Lewat kejadian itu, saya kembali sadar, bahwa ternyata derajat kesabaran ini masih sangat rendah. Rada lapang dada masih sebatas ucapan di mulut. Ego ini masih terlalu tinggi, masih rabun terhadap keadaan sekeliling. Ternyata saya sama sekali jauh dari mampu berdoa ala Rabi' bin Khaitsam. Jadi pantas, kalau dalam menjalani kehidupan ini, masih banyak diselimuti oleh perasaan keluh-kesah. Hati ini masih susah untuk diajak tentram. Padahal amal-amal yang besar, hanya bisa lahir dari jiwa yang tenang, hati yang lapang, penuh ridha, pikiran yang jernih.

Di detik ini, di malam di mana Takbir berkumangdang, untaian dzikir mengagungkan kebesaran Allah, hati ini kembali mengevaluasi dini. Akankah setelah hari kemenangan esok, hati bisa menjadi lebih tentram. Kesabaran akan ber"grade up". Kekhawatiran kembali muncul, jangan-jangan Ramadhan yang baru saja berlalu ini, tidak ada ubahnya dengan Ramadhan-ramadhan sebelumnya, akan hilang tanpa bekas. Padahal barometer keberhasilan ibadah Ramadhan kita adalah meningkatnya rasa keimanan yang ada di dada. Meningkatnya rasa lapang dada, kesabaran, yang seterusnya akan membuahkan jiwa yang semakin tenang menghadapi seluk-beluk berkehidupan. (AF, Yokohama)

HermanLaja.COM