Rumah sederhana - justru banyak orang sekarang yang mendambakan konsep rumah sederhana untuk desain arsitektur rumahnya. Beberapa faktor yang membuat seseorang lebih menyukai rumah sederhana ketimbang rumah besar, antara lain sebagai berikut
Gempa
Luka-luka bekas bencana di ujung timur negeri ini masih basah, kini giliran ujung barat kita yang digulung duka nestapa. Penderitaan akibat perang dengan saudara sendiri yang tidak memperlihatkan tanda-tanda akan menyurut, semakin diperparah dengan "Amukan murka Gusti Allah".
Ribuan bahkan puluhan ribu jiwa terbang dalam hitungan jenjang waktu yang hampir bersamaan. Ratusan ribu korban luka-luka, menandakan bahwa tidak ada kata penyangkalan yang ampuh, bila sang pencipta sudah berkeinginan untuk mengakhiri penjelajahan kita di alam fana ini. Semuanya datang tanpa bisa dipredikisi sebelumnya. Sebuah peringatan ulang, bahwa kita umat manusia, setinggi apapun teknologi yang kita bisa banggakan, tidak akan mampu menghadapi kebesaran Yang Maha Kuasa. Tapi kita terkadang masih saja tidak sadar. Ataukah ini karena sudah semakin tebalnya noda-noda yang menyelimuti hati ini?
"Ini semua takdir dari-Nya..." adalah jawaban paling aman yang bisa keluar dari mulut orang-orang yang tidak berhubungan langsung dengan rentetan penderitaan-penderitaan ini. Dari segi ilmu peradaban, setidaknya banyak hal yang bisa ditempuh minimal untuk memperkecil angka korban jiwa. Tapi karena memang tingkat kemampuan kantong kita yang belum memungkinkan melirik kepada kebutuhan ini, kita belum bisa belajar dari pengelaman masa lalu. Padahal ini belumlah sebuah musibah yang patut disejajarkan dengan musibah yang dialami oleh Nabi Nuh dan kaumnya.
Dengan adanya gempa, harusnya bisa terdeteksi, di mana akan terjadi tsunami, bahkan ketinggian gelombang tsunami yang akan terjadi di setiap tempat bisa diperkirakan. Dan ini tidak termasuk teknologi yang terlalu sulit. Minimal masih bisa diterima akal oleh orang-ornag yang tidak berkecimpung di bidang ini sekalipun. Maka wajar, kalau semisal ada gempa yang terjadi di negara maju seperti di Jepang, dengan secepat kilat pengumuman akan terjadi atau tidaknya gelombang tsunami langsung menghiasi media-media elektronik.
Pasilitas pendeteksi gelombang tsunami selepas terjadinya gempa memang ternyata belum ada di kawasan rawan gempa bagian samudra atlantik. Dan patut diiyakan, bahwa negara-negara di sekitar kawasan ini masih disibukkan oleh urusan perut. Dan belum mampu berbuat selebih dari itu. Masih termasuk negara-negara yang kata canggihnya "Negara sedang berkembang". Padahal terkadang perlu diakui, bahwa level kemampuan ekonomi kita sebetulnya lebih cocok dikelompokkan ke golongan negara-negara miskin.
Di harian Yomiuri edisi 28 desember, saya sempat dikagetkan oleh sebuah data tentang GDP-GDP negara-negara yang ikut tertimpa bencana gelombang tsunami kali ini. Saya sama sekali tidak membayangkan kalau pendapatan perkapita kita justru lebih buruk dari Srilangka, sebuah negara yang dalam benak saya sepanjang sejarah selalu disibukkan oleh perang saudara memperebutkan kursi kepemimpinan. Ternyata Indonesia sudah lebih miskin dari Srilanka.
Malaysia, yang setengah abad lalu banyak mengimpor guru dari Indonesia, justru mempunyai angka GDP 3 kali lebih besar dari Indonesia. Maka wajar kalau banyak generasi muda kita yang berbondong-bondong ke negeri Jiran itu untuk sekedar menjadi buruh kasar. Atau TKW-TKW kita yang mengadu nasib jadi pembantu. Level-level perkerjaan seperti itu, tanpa mengurangi rasa hormat akan jiwa besar mencari ringgit walau kecil asal halal, kalau dipolakan ke masa zaman Jahiliah dulu, tidak berbeda jauh dari apa yang namanya budak-budak. Jadi jangan heran kalau TKW-TKW kita di Arab Saudi misalnya diperlakukan seperti budak belian. Karena anggapa sebagian dari "Tuan-tuan" tersebut, TKW-TKW itulah budak-budak mereka.
Kembali ke tema awal, bahwa tingginya angka korban jiwa pada bencana gelopmbang tsunami kali ini, juga berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan kita. Bencana gelombang Tsunami sendiri mustahil bisa dicegah. Yang bisa kita lalukan adalah meminimalkan tingkat penderitaan yang akan diakibatkan oleh bencana-bencana itu. Dan ini hanya bisa dilakukan bila kemampuan ekonomi kita sudah tidak terlalu disibukkan masih oleh urusan-urusan perut lapar.
Dari segi religi, bencana-bencana itu bisa menjadi bahan pelajaran, bahwa ternyata kita tidak mempunyai kekuatan apa-apa bila Sang Khalik berkehendak akan sesuatu.
La hawla wala kuwwata illa billahil adzim....!!!!
Ya Allah, Jadikanlah kami segolongan ummat yang bisa mengambil pelajaran dari bencana yang engkau timpakan kepada kami.