People Power Yang Disalahgunakan


Berbicara tentang keadaan perpolitikan dunia beberapa bulan terakhir, serasa mengharuskan kita menengok sedikit krasah-krisuh negara tetangga sebelah. Demokrasi Philipina, yang konon bergaya Amerika, ternyata tidak secantik gembar-gembor yang ada.

Ferdinand Marcos, sang diktator yang presiden dan sekaligus perdana menteri itu, akhirnya terjungkal oleh people power. Akibatnya, suami Imelda itu harus mengamankan diri, lari ke Hawai. Tangan besinya yang “berhasil” mendudukkan sang istri tercinta sebagai gubernur Metro Manila, ternyata tidak berdaya menghadapi skandal korupsi-nya yang sudah terlanjur menggurita.

Pewaris tahta kenegaraan Marcos mau tak mau harus beralih ke generasi-generasi sesudahnya. Namun sampai detik ini, hanya Fidel Ramos yang berhasil meninggalkan istana dengan muka yang tidak begitu tercoreng. Bahkan sampai hari ini, suaranya masih sedikit berjiwa malaikat, masih didengar oelh elit politik negeri itu. Aquino-pun tidak terlalu menonjol sisi negatifnya, tapi akhir-akhir ini tidak pernah kedengaran di kancah perpolitikan negeri itu.

Joseph Estrada, sang bintang film yang konon, merupakan presiden pilihan grass root, juga harus rela dilucuti segala atribut kepresidenannya oleh gemuruh suara rakyat. Lagi-lagi naluri kebinatangannya memperkaya pundit-pundi kekayaan pribadi secara illegal dari kas negara, mengantarkannya turun tahta. Suara pendukung yang dulu mengelu-elukan kebesarannya hilang satu persatu ditelan luasnya sang angkasa raya. Rakyat merasa dikhianati. People power kembali angkat bicara. “Go to Hell” bersama segala harta rampasanmu.

Gloria Macapagal Arroyo, wakil Estrada bagai ketiban durian runtuh, naik pangkat menduduki kursi tertinggi di negeri itu, mengisi tahta yang ditinggalkannya. Dan ternyata pesta-pora di lingkungan istana tidak berjalan sesuai dengan scenario panjang yang mungkin ada di benak si presiden cantik itu.

Pemilu pertama di masa pemerintahannya mulai dicurangi. Dan itu ternyata akhirnya bisa tercium oleh kelompok oposisi, yang memang punya tugas utama mencari kelemahan Arroyo. Sejumlah aset negara-pun dihilangkan entah masuk di kantong sebelah mananya. Rekor pelanggaran HAM-pun meningkat. Suami, anak sampai saudara iparnya pun main belakang membeking sindikat judi illegal. Wajar…., karena siapa yang tidak akan tergiur oleh “uang keamanan” yang tidak sedikit yang bisa dipungut dari Bandar-bandar judi tersebut.

Tatkala suara rakyat mengarah kepada keinginan pemeriksaan berkaitan dengan suap, Sang keluarga berjuis itu dengan enteng mengatakan “NO FOR INVESTIGATION”. Toh negara sudah mulai dianggap sebagai punya pribadi. Publik-pun mulai merasa dikhianati.

Suara rakyatpun mau tak mau merasa terpancing untuk kembali berteriak di jalan-jalan. Apalagi sang oposisi yang merasa punya kesempatan tidak pernah berhenti mengipas-kipasi sang raksasa tertidur, sang people power. Puluhan ribu manusia hampir tiap hari turun ke jalan meneriakkan “Impeachment”, “Pecat Arroyo!”, “Gloria: Musuh buruh”. Bahkan kabinetnya ikut-ikutan nyeleneh, minta mengundurkan diri. Dewan gereja-pun tidak tinggal diam, ikut bersuara menyarankan Arroyo mudur.

Tapi Arroyo bukanlah manusia baru di lingkungan elit pusat pemerintahan negeri itu. Dia sudah terbiasa menghadapi berbagai macam tekanan tatkala orang tuanya memegang tampuk pimpinan di negeri itu. Kabinet di-resuffle. Gereja dilobi, dan ternyata berhasil memperlunak dewan gereja. Sang suami diasingkan meninggalkan negerinya, yang disangka rakyat sebagai biang penghianatan sang presiden. Begitulah, tatkala sang istri menjadi orang pertama, tanpa malu sang suami terkadang ikut-ikut mencaplok title sebagai pria nomor satu, membonceng ketenaran istri. Pun demikian juga tatkala suami jadi bos, si istri-pun terkadang ikut-ikutan mbossy. Anak buah suami atau istri dianggap sebagai anak buah sendiri yang harus bisa melayaninya walau hal-hal yang bersifat pribadi sekalipun. Sekali lagi ikut latah mbossy.

People power yang berniat mengobok-obok kursi si Arroyo, ternyata tidak puas dengan tindakan presiden-nya. Permintaan maaf ternyata tidak cukup mengobati sakit hati orang-orang yang merasa dikhianati. Sampai detik ini, arus suara rakyat yang mengalir di jalan-jalan tidak pernah menandakan akan mulai menyurut. Walau langkah baru sang presiden untuk mengubah sistem pemerintahan atas usul mantan presiden Ramos mulai digulirkan.

Akankah trik-trik yang satu demi satu dicoba oleh sang presiden itu akan bisa meredam rasa nyeri luka-luka di hati rakyat yang terlanjur merasa dikhianati itu. Akankah dandanan Gloria, akan bisa berhasil meluluh-lantakkan emosi people power? Bisakah keluguan seorang kaum hawa, bisa menjadi senjata buat rakyat agar sedikit bisa berlapang dada memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasanya tidak segampang itu alur cerita yang akan berkembang pada episode-episode selanjutnya. Toh, people power sudah terlanjut merasa mandatnya disalahgunakan.
Sebagai anggota tetangga sebelah, lipstick “Demikrasi ala Amerika” masih perlu dipertanyakan keasliannya. Kita hanya bisa menjadi pengamat, yang secara hokum tidak boleh ikut campur tangan urusan rumah tangga orang lain. Belum lagi topeng-topeng yang kita pake belum tentu tidak lebih tebal. (AF, Jakarta)

HermanLaja.COM