Sekali Lagi Tentang Gelar

Tentang gelar, ada seorang karib lama yang mengajukan protes. Apakah ada jaminan seseorang yang meraih gelar akademik "Magister Management" lebih unggul dari seorang manajer professinal berpengalaman di sebuah perusahaan? Jawabannya tentu tidak. Bisa jadi seorang manager di dunia bisnis, lebih lihai me-menej ketimbang seorang lulusan MM dari sebuah universitas. Artinya sang manager lebih berhak menyandang gelar MM ketimbang seorang penyandang gelar MM tersebut. Jerih payah sang mahasiswa S2 dalam mengejar gelarnya bisa jadi masih kalah sama sepak terjang seorang manager bisnis di lapangan. Demikian dia memberikan alasan-alasannya.

Haraf diketahui bahwa S.Kom, MM, MBA, Phd atau apalah namanya, adalah sebuah gelar akademik. Seyogyanya seseorang yang belum memenuhi syarat akademik berupa karya tulis dan prosedur lain yang merupakan persyaratannay memang tidak pantas memegang gelar itu, setinggi apapun pengalaman dan sepak terjangnya. Yah...., kunci-nya ada pada kata "gelar akademik". Ini adalah aturan dan acuan-acuan. Tidak boleh dicampur adukkan karena akan mengakibatkan kerancuan. Dasar dari sebuah aturan akan berantakan. Orang-orang yang merasa diri lebih punya kapabilitas di suatu bidang dibanding orang lain-pun tidak bisa dengan serta merta mencaplok hak kuasa penuh akademisi.

Jadi sekali lagi tidak ada alasan untuk menggondol sebuah gelar akademik tanpa melalui prosedur yang sudah baku. Untuk memperoleh sebuah gelar dan ijazah, harus terlebih dahulu seseorang menyelesaikan masa pendidikan formal dan harus lulus dalam sebuah ujian akhir atau pendadaran skripsi(S1), thesis(S2), atau disertasi(S3). Setinggi apapun pengetahuan seseorang, sebanyak apapun tumpukan uang yang dimiliki, setinggi apapun strata kebangsawanan yang bertengger di kepala, tanpa melalui proses tersebut di atas, sebuah gelar akademik "haram" untuk diklaim. Tidak dibolehkan menggembosi daerah otoritas akademisi.
Memang bisa dimaklumi bahwa dengan besarnya pengaruh gelar dan budaya feodal dalam sistem sosial masyarakat, membuat semua orang tergiur akan apa yang namanya gelar akademik. Hal ini setidaknya berkaitan dengan status sosial yang akan dimiliki orang-orang yang bergelar tersebut, dan ekspektasi sosial yang diharapkan mereka akan diberikan oleh masyarakat.

Kalau Max Weber(1978) mengatakan bahwa status dapat berarti sebuah klaim yang efektif bagi penghargaan sosial yang berkenaan dengan privileges positif atau negatif. Privileges ini secara tipikal bisa digolongkan pada;
Gaya hidup
Pendidikan formal
Warisan Turun-temurun
Prestise Pekerjaan

Jadi pada dasarnya seseorang yang memiliki prestise pekerjaan memang tidak perlu latah mencari gelar akademik dari arah belakang demi mengejar penghargaan sosial. Karena memang dimensinya berbeda. Lain halnya kalau mereka memang bisa meraih dimensi lain tersebut dengan pendidikan formal. Hal itu tentu tidaklah diharamkan, bahkan suatu hal yang wajar kalau tingkatan strata sosialnya semakin terdongkrak. Jadi bukan dengan bersifat ambisius memiliki gelar akademik dan kesarjanaan , meskipun tidak melalui jalur pendidikan tinggi yang resmi dan formal.

Sang teman memberikan argumentasi kepantasan seseorang dalam menggunakan sebuah gelar. Sebuah gelar "sah" kalau memang pemegangnya bisa mempertanggung-jawabkan gelar tersebut di kehidupan kesehariannya dalam lingkungan kemasyarakatan, terutama dalam kehidupan karirnya. Artinya, orang yang bisa berprestasi dalam bidangnya sudah cukup adil mendapatkan gelar terkait. Ini anggapan yang salah kaprah, karena kalaupun direfer pada klasifikasi privileges di atas, hanya masuk ke golongan keempat, prestise pekerjaan, dan bukan pada pendidikan formal. Kalau anggapan pencampuradukan ini dilegalkan, mungkin orang-orang seperti Konosuke Matsushita, sang enterpreuner ulung dari negeri sakura itu akan berhak atas gelar-gelar akademik tertinggi. Atau nam Bill Gates, Richard Branson, Dell, akan keberatan gelar akademik jauh melebihi gelar-gelar professor sekalipun. Tapi mereka sadar bahwa dirinya adalah orang-orang yang putus sekolah, sehingga dengan sendirinya tau diri untuk tidak latah mencaplok otoritas lingkungan akademik. Mereka tau kalau dimensi kepiawaiannya bukan dibangku-bangku kuliah.

Gelar akademik yang diperoleh dengan membeli sekian juta rupiah, sudah bisa dipastikan bahwa gelar itu tidak mempunyai reason alias tanpa nalar, seperti diistilahkan oleh C Wright Mills, rationality without reason. Begitu pula dengan ijazah kesarjanaan yang dimiliki oleh seseorang dengan cara membayar, maka di samping tidak akan diakui resmi oleh pemerintah, juga tidak memiliki garansi akademis bagi si pemiliknya. Gelar seperti itu tidak lebih dari sekedar kepalsuan dan kebanggaan semu belaka, tanpa nalar, nilai dan etika.

Dalam masyarakat modern, ungkap Mills, nalar telah direduksi menjadi sebuah rasionalitas instrumental. Sebagai rasionalitas ini, maka nalar berarti sebuah sarana, instrumen, dan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan secara efesien, dengan mengabaikan nilai dan makna serta tidak peduli pada proses dan tata-tertib prosedural. Karena itu, rasionalitas ekonomi yang dipergunakan dalam kasus hijau hitam jual-beli gelar dan ijazah tersebut telah menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai pasar dan ijazah merupakan komoditas.

Pada hakikatnya, diakui atau tidak, orang-orang yang menyandang gelar akademik dan memiliki ijazah dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak patut itu telah melakukan kebohongan publik dan penipuan terhadap masyarakat luas. Selama orang-orang seperti itu pamer dan bangga dengan gelar-gelar ilegal dan ijazah palsu itu, maka selam itu pula mereka sedang berbohong dan menipu diri di tengah khalayak.

Jadi sekali lagi, kepiawaian dalam bidang pekerjaan, berdimensi lain dengan peraihan gelar akademik. Tidak ada alasan untuk ikut latah mengklaim otoritas ladang garapan orang lain, apapun alasannya sepanjang tidak mengikuti prosedur yang ada. Tapi ini kembali lagi pada moral dan etika yang ada dalam dada masing-masing individu. (AF, Jakarta, 13 September 2005)

#### Artikel ini sudah pernah dimuat di www.selayar.com ####

HermanLaja.COM