Tanggal 1 Oktober 2005 menyisakan banyak kisah kesedihan masyarakat ini. Kenaikan harga BBM yang mencapai 2 kali lipat menghiasi halaman muka setiap harian nasional. Hal ini yang seakan menutupi satu berita penting lain dalam perjalanan berbangsa dan bernegara di tanah air, yakni terbongkarnya praktek mafia pengadilan yang melibatkan oknum-oknum instansi harapan terakhir masyarakat dalam mencari keadilan. Yah…., praktek korupsi dalam kasus Probosutejo. Bahkan konon melibatkan Bagir Manan, seorang professor dengan track record bersih yang sedang dipercayakan memimpin lembaga tinggi negara, Mahkamah Agung.
Harian kompas saya bolak-balik, menyimak satu demi satu berita yang termuat. Dan mata ini membelalak pada sebuah berita, “Tawuran Mahasiswa UNM”. Kerning saya sedikit berkerut, menghubungkan kata-kata UNM itu. Yah…, UNM adalah kepanjangan dari Universitas Negeri Makassar, sebuah perguruan tinggi di Makassar yang beberapa tahun lalu bernama IKIP Makassar. Jadi praktek adu jotos ini kembali terjadi di daerah kelahiran saya, Sulawesi Selatan.
Sungguh sedih, karena belum berselang lama, kejadian serupa telah menodai perguruan tinggi negeri lain di Makassar, UNHAS yang berakibat terbakarnya beberapa ruangan perkuliahan. Dan dengan kejadian di UNM ini, seakan melengkapi predikat tidak bermoral dan tanpa nalar dari generasi harapan daerah ini. Karena siapapun mengakui kalau kedua perguruan tinggi ini merupakan simbol top level kejeniusan putra daerah.
Namun, Rentetan berita buruk itu ternyata belum bersifat final. Kini tawuran kembali terjadi di lingkungan akademisi yang terkenal sebagai pemasok tenaga-tenaga pengajar, pencetak generasi-generasi berikutnya. Sungguh praktek egoisme yang sangat memalukan. Tatkala masyarakat semakin menjerit menghadapi himpitan kehidupan yang semakin suram dengan meningkatnya harga BBM, para calon cendekia itu justru disibukkan dengan kegiatan yang jauh di luar etika, terutama menyangkut masalah predikatnya sebagai calon-calon pemimpin bangsa dan daerah. Sehingga timbul kekhawatiran, mau dibawa kemana masyarakat ini setelah mereka-mereka duduk di kursi kepemimpinan.
Bahkan kali ini, konon mereka mempersenjatai diri dengan parang dan peluru “Papporo”, senjata api rakitan. Dan wajar, kalau ada semacam Dian Tandilallo, seorang mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni harus dilarikan ke rumah sakit karena di hampir seluruh tubuhnya robek oleh sabetan parang. Atau Taslim yang terkena peluru papporo pada bagian perut.
Para pelakunya sudah pasti mereka-mereka yang merasa dirinya paling unggul, karena tidak pernah melihat ke dunia lain. Tidak pernah bercermin, sehingga tidak sadar kalau ternyata mereka-mereka sebetulnya tidak ada apa-apanya. Sudah terlanjur mengibarkan bendera kemenangan, karena kedudukannya sebagai mahasiswa negeri yang memang hanya bisa dimiliki oleh segolongan kecil anak daerah. Ketakabburan terlanjur merasuk ke dalam jiwa. Semuanya merupakan pengacungan lambang VICTORY yang salah kaprah, idiot, dan tak tahu malu. Dan sebenarnya, kelakuan itu lebih cenderung bersifat menyerahkan leher untuk ditebas oleh pedang peradaban dan persaingan modern yang tak kenal mundur, yang siap melahap domba-domba yang tiada pernah sadar diri. Yah…, persaingan ini ke depan justru akan semakin kejam dan bengis. Sehingga sebetulnya tidak ada waktu untuk sekedar istirahat, untuk mengejar ketinggalan. Apalagi untuk melakukan aktivitas yang kontra produktif semacam ini.
Kejadian ini sudah hampir pasti akan menjadi tradisi, membentuk sebuah lingkaran setan. Karena manusia-manusia seperti ini tergolong manusia-manusia kejam yang hampir tidak mungkin melupakan dendam dalam hati, sampai kapanpun. Kecuali ada rasa sadar yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam.
Dalam buku Al-Mashlubun fit Tarikh, menceritakan kisah orang-orang kejam yang selalu diselimuti oleh rasa dendam dalam hati. Kaum-kaum yang rela membunuh musuh-musuhnya, sementara rasa haus dan sakit hati mereka tidak terobatkan.Jasad-jasad yang sudah kakupun disalib. Tubuh-tubuh yang kaku itu tidak merespon siksaan yang diderakan kepadanya, tidak merasakan sakitnya perlakuan kasar, dan tenang saja tanpa merasa disiksa karena memang sudah tidak ada ruhnya. Sebaliknya si pembunuh yang masih saja menderakan siksa itu merasa puas dan lega, dan semakin senang dengan perlakuan kasarnya. Tapi jiwa-jiwa yang diliputi dendam kesumat ini tidak pernah merasa terpuaskan dan bahagia, karena api dendam dan kemarahan telah menghancurkan mereka sebelum mereka menhangcurkan musuh-musuh mereka sendiri.
Perumpamaan di atas kedengaran memang terlalu ekstrim. Tapi setidaknya kejadian kali ini sedikit banyak akan membekaskan rasa dendam yang akan berkelanjutan entah sampai kapan. Benih-benih seperti contoh di atas sedikit banyak akan merasuk ke dalam jiwa pelakunya. Sekali lagi, kecuali kesadaran dan keinsyafan menyeluruh yang ditopan oleh rasa kebersamaan menghadapi musuh bersama yang datang dari segala penjuru. Musuh-musuh bersama itu bisa berupa perdagangan bebas yang mau tak mau akan dating menjenguk. Atau perkembangan teknologi yang tidak kenal jedah. Bisa juga berupa himpitan utang negara yang hampir tidak bisa terbayarkan sampai generasi anak cucu. Yang semuanya akan menyeret bangsa ini ke sebuah lubang yang tak berujung.
Akhirnya, nasi sudah jadi bubur. Masalahnya bisakah kita berbesar hati untuk melupakan dendam kesumat itu. Melangkah maju ke depan dengan pikiran yang jernih selayaknya golongan kaum terpelajar yang mau tak mau akan menjadi tumpuan harapan di era-era berikutnya. Hal ini akan kembali kepada sejauh mana jiwa dan bathin ini diberikan ceramah-ceramah pembuka tabir kesadaran. Bermuhasabah mengikis sifat-sifat ke-ego-an yang sempit. Tentu kembali kepada individu-individunya.
Dalam Al Qur'an, Surat Ali ‘Imran ayat 119, Allah swt berfirman: “Dan, apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. (AF, Jakarta, 23 Oktober 2005)
#### Artikel ini sudah pernah dimuat di www.selayar.com ####