Tawuran, Sebuah tradisi mahasiswa Unhas

Belum hilang dari ingatan, Unhas heboh dan menjadi berita nasional karena tenaga pengajarnya melakukan prilaku tidak senonoh, pelecehan seksual mahasiswa bimbingannya. Dan konon prilaku asusila seperti ini oleh seorang dosen di UNHAS, tidaklah termasuk barang yag langkah. Moral seperti ini merupakan moral individu-individu yang banyak ditemukan di republik ini. Kekuasaan(Ken-gen) yang tidak dibarengi oleh tanggungjawab(Sekinin) sebagaimana wujud yang seharusnya.

Minggu-minggu terakhir, kampus merah itu kembali mengulang tradisi lamanya, tawuran dan bakar-bakaran. Acara penyambutan mahasiswa baru setiap tahunnya, hampir pasti dinodai oleh saling adu jotos dan keroyokan antar fakultas. Seakan mengiyakan ungkapan "History repeats itself".Sayang sekali bahwa sejarah yang terulang itu hanyalah sejarah-sejarah yang jauh dari moral-moral kemanusiaan masyarakat berpendidikan. Mereka mengikuti ego sendiri dan membela harga diri yang salah kaprah. Maka wajar kalau Aa' Gym, hanya bisa membelalakkan bola mata sambil berujar,"Mahasiswanya saja seperti ini, bagaimana setelah menjadi pemimpin-pemimpin kelak?".

Tahun ini, mahasiswa Fakultas Teknik dan FISIP saling mempertunjukkan kebolehannya. Akibatnya, 2 ruangan perkuliahan pun hangus terbakar, dan beberapa orang korban terpaksa masuk ke rumah sakit.Sejarah juga sudah membuktikan bahwa dua fakultas ini memang merupakan pemegang rekor tertinggi adu keroyokan dan bakar-bakaran.

Yang terasa aneh, ketika melihat berita-berita di media massa, bahwa masing-masing petinggi fakultas tersebut berlomba angkat bicara yang bernada mencari kambing hitam. Dan bukannya saling berintropeksi diri. Ambillah contoh kata-kata self defense yang dilontarkan Noer Jihad Saleh, Pembantu dekan III FISIP, "Fisip pilih bertahan". Seakan memproklamirkan kepada dunia bahwa fisip pada posisi teraniaya dalam kasus ini. Padahal history seperti ini sudah banyak kali terulang. Kalau saja kejadian itu mau dikritisi, bisa sampai pada sebuah kesimpulan bahwa para pimpinan fakultas tersebut tidak sanggup memimpin dan mengarahkan mahasiswanya sendiri. Maka tatkala Noer menjelaskan bahwa peristiwa itu sama sekali tidak mengaitkan nama lembaga, kedengaran bernada berusaha lari dari tanggungjawab.

Petinggi fisip menampik, Teknik-pun tidak tinggal diam. Lagi-lagi dengan argumen self defense -nya. Dekan fakultas teknik, Dr. Ir. H Muh Saleh Pallu, M.Eng, malah memastikan bahwa kajadian ini oleh pihak ketiga. Rangkaian kata-kata yang sebetulnya sungguh malu diucapkan sebelum melakukan intropeksi internal secara menyeluruh. Toh tidak bisa ditampik lagi bahwa dalam setiap "kegiatan" yang sama selama ini, justru fakultas asuhannyalah yang merupakan partisipan teraktif. Kenyataan seperti itu sudah bukan sebatas berupa retorika lagi, tapi masih sempat-sempatnya berusaha mengalihkan tanggungjawab, sungguh di luar batas-batas moral orang-orang normal beradab. Demikian juga Rendra, wakil tertinggi fakultas teknik di tingkat mahasiswa, bertutur sejalan dengan apa yang sang dekan umumkan. "Pelakunya bukan anak teknik", demikian Rendra membantah.

Sungguh disayangkan bahwa Unhas, yang katanya universitas terbesar di bagian timur Indonesia, hanya bisa berunjuk gigi, berbicara di tingkat nasional dalam case seperti ini. Tatkala masalah prestasi akademik yang berupa riset unggulan atau jumlah paten yang menjadi topik pembicaraan, kampus merah ini laksana ayam jago yang terserang penyakit menular flu burung, kurang sanggup berkokok.

Tradisi kejadian seperti ini, selalu terjadi pada masa-masa acara penyambutan mahasiswa baru alias ospek. Namun Noer Jihad Saleh mengemukakan bahwa pihak fakultas belum berencana menghentikan kegiatan ospek-ospek-an tersebut. Dan menilai pelaksanaan penymabutan sudah bagus, tidak ada mahasiswa yang jadi korban. Ini juga menandakan bahwa para petinggi Unhas saja sudah kehilangan ide mencari format terbaik menyambut datangnya mahasiswa baru. Tapi kalau memang ide baru tidak bisa muncul dari kepala, lalu kenapa tidak menyontek saja ke alam luar. Banyak sekali case study acara penyambutan mahasiswa baru yang tidak melibatkan mahasiswa senior, tapi toh lulusannya bisa punya dedikasi tinggi pada profesinya masing-masing. Atau metode-metode itu memang sudah dirasakan tidak akan berfungsi secara maksimal pada kultur kemasyarakatan di lingkungan kampus merah itu? Untuk menjawabnya, rasanya memang butuh dorongan kuat untuk menguliti ego dan harga diri salah kaprah tersebut. Atau julukan "kampus merah" sudah saatnya diubah menjadi "kampus hijau", sehingga hati masyarakatnya bisa menjadi sejuk dan gampang mengayomi sesama.(AF, Jakarta, 4 September 2005)
**** Artikel ini juga sudah dimuat di www.selayar.com ****

HermanLaja.COM