Sebuah Gelar

Sekitar lima tahun yang lalu, saya sempat berdiskusi sama seorang teman tentang susahnya meraih gelar dua huruf, doktor. Teman tersebut yang notabene lulusan universitas top negeri ini, harus tunggang-langgang dan kembang kempis serta sesekali menggerutu memikirkan perkembangan penelitiannya yang tidak maju-maju. Paper yang dikirim ke jurnal international, hampir selalu dibalas dengan statement penolakan. Padahal salah satu persyaratan menyelesaikan program pendidikan S3-nya adalah bisa menelorkan beberapa paper di jurnal International. Rasa stress menyelimuti kehidupan kesehariaanya. Lalu tanpa disadari, dia mengeluarkan kata-kata "rasa iri" akan banyaknya orang-orang negeri ini yang dengan begitu gampangnya memasang titel se-level S3 di belakang namanya, tampa diketahui kapan mereka melakukan pendidikan S3. Apa thesis yang begitu diakui dunia, sehingga begitu "gampang" mendapatkan titel tersebut. Berbagai macam pertanyaan yang bernada menuntut keadilan akan masalah yang dia hadapi.

Beberapa bulan yang lalu, pada perusahaan pertama saya masuki di tanah air ini, saya pernah "dipaksa" oleh atasan untuk menuliskan embel-embel gelar yang saya punya di belakang nama pada kartu nama yang akan dibuat. Dengan beribu macam alasan sang atasan, akhirnya gelar itu-pun resmi nempel di belakang kartu nama saya. Sebuah pengalaman pertama buat saya, memiliki nama yang lebih panjang dari biasanya. Walau dalam hati ini timbul berbagai macam pertanyaan, "Seberapa tingkatankah harga diri ini akan terdongkrak oleh gelar tersebut?". Karena memang bidang yang saya masuki waktu itu, sama sekali tidak ada hubungan dengan bidang ilmu yang saya geluti sehingga bisa menggapai gelar yang sangat tanggung itu. Dan sesuai pengalaman yang pernah saya alami, hanya di negeri ini, embel-embel seperti itu terasa ditonjolkan melebihi dari kapasitas yang seharusnya.

Apakah masyarakat ini memang sedemikian haus akan yang namanya gelar? Sehingga mengharuskan peminat sebuah jabatan dan kedudukan berlomba-lomba mencari gelar tersebut? Masih segar dalam ingatan, betapa banyak calon wakil rakyat dalam pemilu lalu, yang kedapatan menggunakan ijazah palsu. Padahal belum pasti bahwa dengan adanya titel yang seakan-akan mencerminkan tingkat kecerdasan pemilik, akan ikut punya andil dalam memperjuangkan hak-hak dan suara rakyat yang diwakilinya.

Di negeri ini, gelar instant ini begitu diburu-buru oleh orang-orang yang berkepentingan. Yah..., dari pada susah-susah sekolah, dan belum tentu gelar yang diiinginkan itu bisa diraih, memang lebih gampang mengeluarkan uang dari saku untuk "membeli" sang gelar. Maka menjamurlah praktek bisnis semacam IMGI, yang saat-sat terakhir ini banyak mendapat sorotan media. Konon banyak petinggi dan mantan petinggi negeri dan daerah se-nusantara yang bisa memperpanjang gelar di sekitar namanya, lewat jalur seperti ini. Karena jalur ini memang sangat menggiurkan kalau memang niatnya hanya mengejar sebuah gelar. Bayangkan, gelar S3 cukup dibeli dengan lebaran uang mulai dari 5 jutaan. "Mahasiswa"nya tidak perlu repot-repot kuliah. Setelah membayar "uang kuliah", undangan untuk acara wisudahan yang kebanyakan digelar di hotel-hotel berbintang pun diterima. Di hotel berbintang tersebut, toga sebagai simbol wisudahan-pun dipasangkan. Dengan toga-toga itu, bisa berfoto bareng bersama keluarga, diiringi gelak tawa perasaan kepuasan.

Ada seorang kolumnis yang dalam tulisannya mengatakan bahwa larisnya gelar "palsu" ini bukan disebabkan oleh keadaan masyarakat ini yang katanya "gila" gelar, seperti yang dituduhkan oleh kebanyakan orang. Kenyataannya, mereka yang terlibatpun memang orang-orang yang waras, sadar, dan cerdas berhitung nilai ekonomi sebuah komoditas dalam pasar yang namanya masyarakat industrial. Dan mungkin saja tidak akan ada yang peduli dengan "gelar-gelar" itu manakala tidak ada nilai ekonomi yang terkait di situ. Jadi, menurut pendapat sang kolumnis ini, yang dikejar bukanlah gelar atau kehormatan itu sendiri, tetapi keuntungan ekonomis. Bahkan "harga" itu bukan hanya sebatas keuntungan dari segi ekonomi, namun juga secara gengsi sosial, wibawa budaya, atau gertak politik.

Tapi, sebegitu tinggi itukah nilai-nilai yang diimbaskan oleh sebuah gelar? Lalu sampai tega menambah kompleks anekdot klasik negeri ini, "Uang haram aja susah, apalagi yang halal!", lalu ramai-ramai mengejar uang, tak peduli itu halal atau haram. "Gelar instant aja susah, apalagi mengejar yang namanya gelar resmi". Saya khawatir, keadaan seperti ini akan semakin memperburuk suasana. Semakin menambah antrian panjang masyarakat yang saling sikut-sikutan demi ego masing-masing. Kepedulian sosial semakin menjadi barang langkah. Kejujuran tinggal sebuah cerita masyarakat di zaman para nabi. Sementara saat ini, sudah bukan zamannya lagi.Sungguh sebuah kenyataan yang sangat mengerikan ditinjau dari segi nilai-nilai kemanusiaan.

Gelar-gelar palsu ini hanya bisa menjadi berita, tatkala orang-orang besar menjadi obyeknya. Masyarakat tidak akan peduli, kalau saja pemegang "gelar-gelar" tersebut hanyalah orang-orang pinggiran yang memang tidak mampu masuk lewat pintu depan dengan alasan keterbatasan keadaan perekonomian. Dan kenyataanya, bahwa pangsa pasar lembaga seperti IMGI ini, memang kalangan orang-orang terpandang. Dari perwira hingga selebriti, pejabat hingga ketua yayasan.

Harus diakui, titel di depan atau di belakang nama memang membanggakan. Ditambah lagi bahwa kebanyakan masyarakat kita juga masih mendewakan gelar. Mereka yang menyandang gelar doktor sudah pasti akan mengudang decak kagum orang-orang sekeliling. Bahkan titel sarjana-pun cukup menambah rasa percaya diri. Saking populernya, belakangan gelar atau titel akademis seperti tidak lagi mengenal proses. Dan orang memang tidak mau tahu di mana penyandangnya bersekolah, berapa biaya-nya, apa topik skripsi atau disertasinya, berapa lama ia kuliah. Itu semua tidaklah sepenting titel pada namanya. Dengannya, orang merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi, kemuliaan dari masyarakat sekitar, serta pengakuan akan kepandaian-nya yang luar biasa. Padahal sebetulnya sebuah gelar seharusnya adalah sebuah imbas dari rentetan proses yang lumayan panjang.

Di satu sisi, betapa banyak anak negeri yang sudah berhasil meraih gelar-gelar tinggi secara murni di berbagai instansi-instansi pemerintah di tingkat pusat, tapi mereka justru seakan merasa kecewa karena ternyata hasil cucuran keringat dan segudang penderitaan tatkala bergelut di universitas-universitas ternama di negara-negara maju tidak mendapat respon yang positif dari sang atasan. Reward yang mereka dapatkan tidak jauh beda dengan si guru "Umar Bakri". Padahal sebetulnya mereka-merekalah yang paling kompoten merubah wajah negara ini di masa yang akan datang. Akibatnya jadi disibukkan ngobyek sana-sini demi menyambung hidup keluarga agar sedikit layak. Atau bahkan banyak yang "terpaksa" memilih jalur "braindrain". Betapa ironisnya sesuatu yang bernama "gelar" ini.

Saya tidak tau, bagaimana reaksi sang teman tatkala mendengar "kericuhan" penertiban gelar-gelar instant tersebut oleh pemerintah akhir-akhir ini. Tapi setidaknya hal itu akan sedikit mengobati rasa "sakit hati"nya. Bahwa perjuangannya sedikit bisa dimengerti oleh mereka-mereka yang gila gelar tanpa enggang mengeluarkan keringat untuk meraihnya. (AF, Jakarta, 28 Agustus 2005)

HermanLaja.COM