Penghambat Investasi di Indonesia

Beberapa waktu lalu, Presiden SBY mengadakan kunjungan ke berbagai negara maju. Disamping urusan kerjasama dengan pemerintah negara tujuan, presiden juga selalu menyempatkan diri bertatap muka dengan pada pengusaha setempat. Tujuannya adalah satu, memberikan keyakinan kepada para investor asing itu untuk bisa menanamkan modalnya di Indonesia. Sebuah usaha yang memang patut dilakukan oleh seorang kepala negara, karena dengan banyaknya investor asing yang menanamkan modalnya di tanah air, bukan saja ikut mendongkrak angka export yang selanjutnya menambah sumber pemasukan devisa, juga bisa membuka peluang lapangan pekerjaan sehingga angkatan pengangguran yang kian hari kian memprihatinkan ini bisa sedikit terserap.

Sungguh sangat ironis, karena kecendrungan negara tujuan investasi pada investor negara maju seperti Jepang, masih memilih negara-negara seperti Malaysia ketimbang Indonesia. Padahal dari segi ketenagakerjaan, upah buruh di Malaysia jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Sementara biaya produksi masih banyak dipengaruhi oleh biaya sumber daya manusia ini. Secara otomatis, seharusnya menanamkan modal di Indonesia punya nilai tambah untuk mengurangi biaya produksi.

Beberapa hari yang lalu, delegasi Japan External Trade Organization(JETRO) mengadakan tatap muka dengan presiden SBY di Istana negara. Dari pertemuan itu, terungkap beberapa faktor penghambat PMA di tanah air sebagai berikut.

Korupsi yang merajalela
Kendala utama yang dihadapi oleh para investor, sebagaimana diungkapkan oleh Harada Yugi, anggota delegasi JETRO tersebut adalah KORUPSI. Budaya korupsi aparat pemerintah di Indonesia sungguh sangat mengganggu jalannya langkah para investor asing. Wajar, karena Indonesia memang tidak pernah keluar dari predikat negara-negara terkorup di dunia.

Bukan cerita asing lagi, kalau perusahaan-perusahaan asing yang beraktivitas di Indonesia, harus siap digrogoti oleh pungutan liar preman-preman aparat pemerintah dari golongan sandal jepit sampai pejabat-pejabat berdasi. Dan mereka hanya bisa pasrah serta mulut harus dikunci untuk tidak bernyanyi kemana-mana, walaupun hati nuraninya menjerit melaknat praktek tidak bermoral tersebut. Kecuali, sudah punya komitmen untuk gulung tikar.

Bos saya di kantor-pun pernah mengeluhkan betapa carut-marutnya praktek korupsi di Indonesia ini. Walaupun sebelumnya beliau sudah sedikit tau tentang iklim berinvestasi di Indonesia, tapi pada kenyataannya, lembaran hitam itu lebih kelam dari apa yang beliau bayangkan sebelumnya. Sehingga konon, sudah pernah ada dalam pikirannya untuk mengurungkan niat berinvestasi di Indonesia. Mulut saya terkatup rapat, menunduk malu mendengar pengakuan beliau. Malu dan mulut ini tidak bisa mengucapkan sepatah katapun.

Penegakan Hukum
Masih menurut Harada Yugi, bahwa penegakan hukum yang tidak jelas juga merupakan salah satu kendala penghambat berinvestasi. Peraturan banyak bersifat abu-abu, tidak konsisten, bermuka dua. Hari ini lain, besok juga bisa lain, tergantung siapa oknum yang melayani. Dengan itu, urusan bisa berbelit-belit dipimpong kiri-kanan. Ujung-ujungnya mengarah kepada kendala pertama, minta jatah.

Saya teringat sama urusan kantor, pengajuan KITAS buat karyawan asing. Karena komitmen kami dari awal untuk sebisa mungkin bermain fair, tak luput mengantarkan kami kepada urusan yang berbelit-belit. Sudah lebih dari 4 bulan, KITAS yang kita harafkan belum juga keluar. Beribu satu macam alasan dan persyaratan instant selalu muncul bila suatu persyaratan sudah terpenuhi. Padahal teman karyawan asing lain yang berbeda perusahaan konon urusan serupa kelar dalam hitungan hari. Ini semua karena hukum dan peraturan yang tidak jelas. Atau kalaupun sudah jelas, penegakannya yang bermuka dadu, amburadul.

Kemampuan Bahasa
Salah seorang anggota delegasi JETRO yang bernama Imao, mengunkapkan kendala investasi lain yang berupa miskinnya kemampuan berbahasa tenaga kerja Indonesia. Mereka menuntut setidaknya bisa berbahasa Inggeris, kalau memang bahasa Jepang tidak mampu. Akan tetapi, kebanyakan tenaga lokal kita, hanya bisa berbahasa Indonesia. Hal ini yang menjadi sebuah kelemahan dibanding negara Asia Tenggara lainnya terutama Malaysia. Ini berhubungan erat dengan bidang pendidikan kita yang tidak mendapat porsi signifikan dari para penentu kebijakan pemerintah. Toh kenyataan juga sudah menunjukkan betapa di era tahun 60-an 70-an, Malaysia mengimpor tenaga pendidik dari Indonesia, sementara saat ini kita sudah banyak melirik pedidikan tinggi di negeri Jiran itu, karena mutunya sudah jauh melebihi dari apa yang kita punya.

Keterampilan dan Etos Kerja
Dari miskinnya system pendidikan, menghasilkan generasi-generasi yang low skill. Keterampilan kerja minim, keahlian hampir tidak ada. Padahal keterampilan kerja yang rendah mengurangi kapasitas produksi.
Kedisiplinan dan etos kerja yang rendah juga menjadi pemandangan mencolok pada tenaga-tenaga kerja Indonesia. Budaya malas seakan sudah mengakar dalam hati sanubari. Sehingga ada juga sentilan-sentilan yang pernah beredar, bahwa hasil produksi tenaga kerja Indonesia tidak lebih dari seperdua dari hasil produksi tenaga-tenaga kerja negara maju dalam interval waktu yang sama.

Sungguh sangat memprihatinkan, karena di samping keterampilan kerja yang minim, juga ditambah derajat kemalasan yang cukup tinggi. Sementara di era sekarang ini, sebuah hasil produksi yang berkwalitasi tinggi pun harus dibarengi oleh timing yang tepat, harus berpacu dengan waktu. Karena hasil maksimal dan berkwalitet, tidak lebih berharga dari onggokan sampah bilamana timing-nya tidak tepat.

Pemerintah saat ini sudah mulai mau menyadarkan diri akan pentingnya system pendidikan berkwalitas buat masa depan bangsa ini, walau masih dalam taraf teori dan retorika. Karena pendidikan memang merupakan hal yang sangat urgen demi masa depan bangsa, kecuali mata kita hanya tertuju pada apa yang bisa kita makan hari ini. Tanpa pendidikan bermutu, masa depan bangsa ini akan kelam. Dan selamanya akan menjadi bangsa kuli.

Berantakannya penegakan hukumpun sudah mulai terkuak. Dan memang sungguh mengharukan bahwa para koruptor dan penjual hukum, adalah mereka-meraka yang seharusnya berposisi sebagai pemberantas korupsi dan penegak hukum. Dari polisi, jaksa, hakim, PNS, sampai para kyai-kyai tak luput berada di barisan terdepan pemakan haram uang rakyat.

Sangat tinggi-nya tingkat import Amerika Serikat dari China dibanding export-nya membuat pemerintah negara adidaya itu kebakaran jenggot. Wajar, karena biaya produksi di China jauh lebih rendah. Dan perkembangan terakhir, negara kaya semau gue itu, mulai berusaha menekan Beijing untuk mau menaikkan nilai mata uangnnya, dengan harapan gap biaya produksi antar kedua negara bisa sedikit menyempit. Hal ini yang menjadi kekhawatiran investor asing di negeri tirai bambu itu, sehingga sedikit demi sedikit mencari peluang untuk mengalihkan sebagian investasinya ke negara-negara Asia Tenggara. Kenyataan ini seharusnya menjadi sebuah peluang besar buat Indonesia untuk bisa menadah investasi-investasi “pelarian” dari China tersebut. Karena secara teori daya penarik investor China dan Indonesia hampir sama, tenaga kerja murah.

Yang menjadi permasalahan adalah, sejauh mana pemerintah Indonesia bisa memperbaiki diri terhadap unsur-unsur penghambat investasi tersebut di atas, agar mampu memyiapkan iklim investasi yang kondusif. Sehingga para investor menjadi tertarik menanamkan modalnya di Indonesia, dan bukan membuat para pengusaha asing justru lari meninggalkan Indonesia, sebagaimana sekian banyak kejadian yang pernah ada selama ini. (AF, Jakarta 24 Oktober 2005)

#### Artikel ini sudah pernah dimuat di www.selayar.com ####

HermanLaja.COM