Dalam sebuah pengarahan-nya, seorang pimpinan sebuah perusahaan menekankan, "Toriaezu yatte miru, "DO"kara hajimeyo". Kedepankan "do". Coba dulu.
Pendapat ini ada benarnya. Proses planning yang terlalu berbelit-belit, kadang memakan waktu dan pada akhirnya tatkala rencana-rencana itu sudah matang, tema-nya sudah tidak lagi dalam posisi "on time". Bahasa dagangnya, sudah terlanjur kadaluwarsa. Atau strateginya sendiri bagus, akan tetapi tidak bisa diimplementasikan di lapangan.
Apa planning tidak penting? Siapa bilang? Bahkan penting sekali. Dalam planning akan tertuang rencana ke depan yang tentu harus berisikan sebuah strategi untuk mencapai titik akhir dari rencana itu sendiri. Strategi sendiri penting. Tanpa strategi yang jelas, terkadang sebuah kapal mondar-mandir, mutar-mutar di tempat yang sama, yang pada akhirnya akan menyebabkan penghabisan waktu yang panjang untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan mungkin bisa berakibat lebih fatal, salah arah.
Akan tetapi, strategi bukanlah segalanya. Strategi jangan sampai berwujud sebuah kemauan, kehendak, mimpi di langit, yang pada saat yang bersamaan tidak terpikirkan kemampuan, kekinian, kenyataan alias kaki di bumi. Bintang di langit bisa jadi merupakan petunjuk arah dalam melangkah, namun ingat bahwa yang akan melangkah dalam kehidupan real, adalah kaki yang nempel di bumi.
Apalah gunanya sebuah strategi brilliant, bilamana tidak bisa ber-integrasi dengan eksekusi. Memang benar ungkapan "Strategy is everything to win the future business". Tapi strategy planner harus lebih dulu tau tentang kesanggupan eksekusi(ability to execute). Sehingga tidak menjadi pelakon seekor pungguk yang merindukan bulan. Seperti yang Larry Bossidi dan Ram Charan utarakan dalam bukunya "Execution: The discipline of getting thins done", kemenangan sebuah kompetisi bukan terletak pada keunikan sebuah strateginya, namun terutama kepada ability to execute. Sehingga bilamana sebuah kompetitor dapat melakukan eksekusi lebih baik dari perusahaan anda, maka akan memenangi persaingan seketika itu juga.
Pada prinsifnya, strategi bukan lagi sesuatu yang bisa diperbandingkan dengan eksekusi, melainkan harus berjalan berbarengan bergandengan tangan. Bila hal ini luput dari pandangan para strategy planner yang notabene petinggi-petinggi sebuah organisasi ataupun perusahaan, bisa berujung pada sebuah hasil akhir yang penuh dengan kekecewaan. Dan akhirnya saling menyalahkan. Artinya, tidak perlu ada gap yang lebar antara para strategy planner dengan executor yang sesungguhnya di lapangan. Toh apalah artinya strategy planner yang brilliant kalau toh tidak akan mampu diikuti oleh para executornya.
Dan kebanyakan yang terlihat di alam nyata, apabila ada ketidakberhasilan di dalam pelaksanaan strategi hasil keringat para pimpinan, strateginya sendiri tidak akan pernah "diadili", namun sebaliknya para executor yang dijadikan kambing hitam. Mereka dituding kurang pengawasan, kurang terampil, atau tidak punya komitmen.
Artinya, para strategy planner harus lebih dulu melakukan sebuah observasi mendalam terhadap seluruh dimensi organisasi. Dimensi tempat, budaya, skill dan masih banyak lagi unsur-unsur yang lainnya. Bahkan hubungan segala segi antar dimensi pun harus lebih dulu dimengerti secara lengkap, sehingga tidak lahir sebuah strategy yang tidak membumi. Dengan kata lain, tingkat imajinasi terhadap sebuah strategi tidak perlu terlalu tinggi, asal lebih dulu dibackup oleh pengetahuan umum segala unsur yang akan menunjangnya.
Strategi yang efektif tidak hanya mengandung what, namun juga how of getting things done. Dan itu semua justru lebih merupakan tanggung jawab dari strategy planner itu sendiri. Sehingga tidak berlebihan bila Ekuslie Goestiandi, seorang pengamat management dan kepemimpinan mengatakan, "Pemimpin yang cuma merasa wajib untuk merencanakan dan merumuskan strategy, dan lantas melungsurkan eksekusinya kepada bawahan, adalah pimpinan yang tidak bertanggung-jawab" (AF, Jakarta 25 Maret 2006)