Menjual Negara

Sungguh susah menjadi bangsa kuli. Dengan begitu mudahnya didikte kiri-kanan sama negara-negara maju. Kasus Blok Cepu dan masalah Freeport salah satu contohnya. Kekayaan negara ini dikerut oleh mereka, dengan alasan kita belum mampu mengolahnya sendiri. Lalu sebagai pemilik lautan "dollar" itu, hanya bisa puas kebagian ampasnya. Orang lain bermewah-mewahan dari hasil penjualan aset kita, sementara rakyat kita hanya bisa melihatnya sambil gigit jari.

"Biarlah insinyur-insinyur kami yang mengolahnya kelak", seuntaian prinsif seorang Bapak bangsa, Sukarno seakan hilang tak berbekas. Sukarno ingin memberdayakan dulu putra-putri bangsa ini, lalu kelak tangan-tangan merekalah yang menggarapnya langsung. Dengan itu, bisa terwujud "bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".

Banyak elemen bangsa ini yang "marah" akan sikap pemerintah yang dengan ringannya mengobral Blok Cepu kepada ExxonMobil, raksasa minyak asal Texas tersebut. Walaupun pejabat negara di kedua belah pihak dengan tegas menampik prihal adanya tekanan dari negara adidaya itu terhadap penguasa negeri ini sehubungan dengan kesepakatan Joint Operating Agreement antara Pertamina dan ExxonMobil, masyarakat sudah terlanjur tidak percaya. Dan ketidakpercayaan ini memang sangat beralasan. Derajat kekonyolan kebijakan pemerintah terhadap kasus ini memang sudah jelas terlihat walau tanpa derajat keahlian di bidang perminyakan sendiri. "Konyol....", itu memang kata-kata yang pas dalam menyikapi Peng-iya-an pemerintah sehubungan JOA Blok Cepu ini.

Hampir semua Harian nasional mengangkat kasus Blok Cepu ini sebagai head line beritanya. Karena semuanya sudah pada mahfum, akan kejanggalan-kejanggalan akan kesepakatan ini. Para ahli geologi bangsa ini pun sangat tidak setuju. Dan bukan cuma mereka, dari masyarakat biasa yang punya kepedulian akan nasib bangsa ini, baik masyarakat biasa, akademisi, sampai beberapa wakil rakyat, sepakat bahwa dengan kesepakatan itu, kita sudah masuk ke dalam perangkap menguras sumber daya alam permiyakan, yang hasilnya lebih banyak dinikmati oleh mereka. Kita sebagai pemilik memang ada kebagian, namun sangat jauh dari kapasitas pantas. Sehingga wajar kalau seorang Amien Rais, mantan ketua MPR tersebut, mengeluarkan protes keras dan sangat menyesalkan kesepakatan ini. Bahkan Dr. Warsito, ketua MITI(Masyarakat Ilmuwan dan Teknokrat Indonesia), seakan kehabisan kata-kata menanggapi penandatanganan JOA antara Pertamina dan ExxonMobil tersebut. "Sungguh menyedihkan", demikian kata-kata yang keluar dari mulutnya. Padahal Kwik Kian Gie, semasa menjabat sebagai Ketua Bappenas, sudah dengan tegas menolak campur tangan Presiden AS, G.W. Bush dan dubes AS Ralph Boyce saat itu. Tapi ternyata kegigihan seorang Kwik, tidak berarti apa-apa setelah penguasa berganti.

Kedatangan Menteri Luar negeri AS, Condoleezza Rice seakan menjadi penyulap mulut pemerintah untuk serentak mengatakan "Iya", dengan berbagai kasus besar yang terkait dengan perusahaan-perusahaan raksasa negeri itu, termasuk Blok Cepu itu sendiri. Para pejabat negara sudah merasakan kepuasan dan kebanggaan yang tinggi dengan untaian kata-kata pujian "istri kedua" presiden Bush tersebut. Protes rakyat sendiri tiada lagi bisa terdengar. Mereka melampiaskan ketidak-sepakatan itu dengan turun ke jalan meneriakkan yel-yel ketidaksetujuan. Karena memang sangat masuk akal bunyi baliho demo masyarakat, "Jual Cepu = Mejual Negara". Tapi kedatangan Condy, membuat pengambil kebijakan tidak bergeming. Berbagai argumen tandingan dihembuskan seakan memaksakan masyarakat untuk meu meneripa keputusan tersebut.

Blok Cepu sendiri sebelumnya dikelolah oleh PT Humpuss Patra Gas(HPG) melalui Technical Assistance Contract(TAC) dengan masa kontrak hingga tahun 2010. Penunjukan HPG ini-pun sebetulnya sangat kental dengan unsur KKN di masa Orba. Namun karena kekurangan dana, tahun 1997 HPG menjual 49% sahamnya ke Ampolex, sebuah perusahaan minyak yang sebagian sahamnya dimilik oleh Mobil Oil. Mobil Oil kemudian merger dengan Exxon dan dengan akal bulusnya berhasil mengubah TAC menjadi TAC Plus, yang mana menjadi bisa mengelolah Blok Cepu. Padahal UU negeri ini sendiri menyebutkan bahwa perusahaan asing tidak diperkenankan mengelola kekayaan alan Indonesia. Akan tetapi namanya Indonesia, UU-nya sendiri dilanggar adalah hal yang tidak terlalu asing. Dan yang melanggar UU itu adalah pemerintah, si penggagas UU itu sendiri. Jadi jangan heran kalau masyarakat men-cap pemerintah "menjual negara".

Setelah berhasil memperoleh TAC Plus, Mobil Oil melalui Ampolex berhasil mengambil alih 100% saham Humpuss di Cepu. Lalu Axxon dan Mobil merger menjadi ExxonMobil, seperti yang kita kenal saat ini. ExxonMobil sudah pasti sudah tahu betapa Blok Cepu mengandung cadangan minyak yang sangat besar. Sehingga menekan pemerintah untuk memperpanjang masa kontraknya 30 tahun. Dan hasil dari lobi-lobi busuk itu adalah JOA yang baru saja ditandatangani itu. Padahal UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, jelas-jelas mengatakan bahwa TAC yang ada tidak boleh diperpanjang lagi. Sehingga diubahlah TAC menjadi JOA, yang pada dasarnya hampir setali tiga uang.

Di lain sisi, ExxonMobil membebani pemerintah biaya operasional (Cost Recovery), yang konon termasuk di dalamnya dana akuisisi saham HPG. Padahal UU No.22 tahun 2001 tentang Migas juga menyebutkan bahwa biaya-biaya yang dapat diganti adalah yang terkait langsung dengan proses eksploitasi dan eksplorasi. Sementara itu biaya pengeboran sumur di Blok Cepu konon juga digelembungkan menjadi US$12 juta per sumur, 3 kali lebih besar dari yang ditawarkan Pertamina.

Menyangkut masalah Teknologi-pun pemerintah "dikibuli" oleh ExxonMobil dengan menyatakan bahwa dibutuhkan teknologi tinggi intuk eksploitasi dan eksplorasi minyak di Blok Cepu. Kontan para pengamat dan ahli geologi negeri ini ramai-ramai menyuarakan "non sense". Menurut Dr. Dirgo W Purbo dari LSM PASCAL, menyebutkan bahwa Pertamina dan rekanan kontraknya sudah sering meng-exploirasi kondisi seperti Blok Cepu. Dirgo menambahkan bahwa menurut ahli geologi, bahwa minyak di Blok Cepu dalam kondisi Natural Flow, yang apabila dibor, maka secara alamiah minyak akan mengalir dengan
sendirinya. Dan kenyataannya bahwa eksplorasi-nya dilakukan di darat sehingga tidak dibutuhkan teknologi dan biaya yang tinggi untuk mengeruknya. Kemudian hasil survei Prof. Dr. Prajatna, ahli geologi ITB, menyebut kedalamannya hanya sekitar 6.000 feet, tidak terlalu dalam.

Lalu kenapa ExxonMobil tetap ngotot untuk memperpanjang hak pengelolahannya terhadap Blok Cepu, yang bahkan kembali melibatkan petinggi negeri yang haus akan minyak tersebut? Padahal pengakuannya sendiri mengatakan bahwa cadangan minyak di Blok Cepu "cuma" 600 juta barel? Dr. Warsito mengatakan bahwa itu hanyalah akal bulus ExxonMobil dalam merayu pemerintah. Hasil survei HPG sendiri mengindikasikan bahwa cadangan minyak tersebut mencapai 10,9 milyar barel. Dr. Warsito justru memperkirakan jauh lebih dari klaim HPG.

Jadi cadangan minyak yang masih tidur di Blok Cepu ditaksir sekitar 11 nilyar barel bahkan lebih. Sebuah angka yang jauh lebih besar dari perkiraan cadangan minyak di Indonesia selama ini yang secara keseluruhan diperkirakan hanya sekitar 9,7 milyar barel. Jadi angka 10,9 milyar barel adalah angka yang fantastis. Maka wajar kalau ExxonMobil berusaha menempuh cara apapun asal berhasil menguasai pengolahan Blok Cepu. Dan juga sangat wajar kalau berbagai elemen masyarakat men-cap kesepakatan Joint Operating Agreement kali ini sebagai wujud "MENJUAL NEGARA" oleh pemerintahnya sendiri. Benar-benar Sedih yah! (AF, Jakarta 2 April 2005)

HermanLaja.COM