Pasangan SBY-JK mencapai kursi Indonesia I-II dengan sebuah slogan "100 Hari Pertama". Penanganan korupsi, pembersihan aparat penegak hukum harus bisa menunjukkan hasil signifikan dalam periode 100 hari pertama itu. Demikian SBY meyakinkan seluruh rakyat Indonesia kalau presiden pilihan mereka itu tidak main-main. Dengan target itu, rakyat punya pedoman jelas, apakah benar tidak salah memilih pemimpin mereka, atau seperti sediakala akan kecewa dengan janji-janji palsu yang selalu terlupakan tatkala kehidupan elit di Istana negara terlanjur dinikmati.
Langkah pertama yang SBY tempuh, adalah memanggil satu-satu pimpinan instansi terkait untuk ditatar agar segera melakukan perbaikan di lingkungan masing-masing. SBY sadar betul, bahwa langkah kongkrit itu harus segera dimulai, sebelum rakyat kembali kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Bahkan instansi yang selama ini dinilai rawang sebagai biang keladi merajalelanya praktek KKN, langsung diberikan target nyata. Sesuatu hal yang hampir mustahil dilakukan oleh senior-senior-nya. Langkah ini dengan jujur patut kita hargai, karena tidak akan ada perjalanan jauh tampa sebuah langkah pertama. Atau tidak akan ada uang 1 juta bila tidak dimulai dari recehan 100 perak.
Banyak yang berwajah sinis, melihat tampang-tampang menteri yang dipasang oleh SBY, terutama di seputar bidang perekonomian. Tapi selama keputusan sudah ditandatangani, dan diumumkan ke publik, seberapa tinggi nada protes sekalipun sudah susah untuk bongkar pasang secara instan. Oleh karena itu, tindakan yang paling bijak adalah menyokong apa yang sudah ada, dengan tidak melupakan untuk tetap kritis, mengoreksi setiap langkah-langkah yang mereka tempuh.
Ternyata kemulusan langkah pertama lembaga kepresidenan, tidak diikuti oleh wakil-wakil rakyat di gedung senayan sana. Mereka membuat 2 kubu yang terkesan saling berebutan posisi strategis. Kaolisi kebangsaan ternyata berambisi menyapu bersih ketua-ketua komisi dengan mengambil keputusan sepihak memilih mengubah tata tertib yang ada dan memilih ketua-ketua komisi, meski tidak memenuhi kuorum. Maka sungguh cukup beralasan bila Mochtar Pabottingi, seorang pengamat politik ternama, merasa curiga akan adanya upaya menjegal pemerintah oleh kaolisi kebangsaan ini.
Tapi bukan berarti dendam politik menjadi pemicu utama ngototnya kaolisi kebangsaan untuk merampas semua kursi ketua komisi itu. Bisa saja keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi terlihat bagai kerikil-kerikil tajam di depan mata mereka, sehingga mereka menginginkan agar agenda pemerintah terhadap pemberantasan KKN bisa kandas di tengah jalan. Seperti Pabottingi sampaikan dalam bincang-bincang dengan eramuslim online, "Saya curiga, Koalisi Kebangsaan yang begitu ngotot untuk menyapu bersih kursi ketua komisi di DPR justru untuk menjegal jangan sampai KKN diberantas, karena siapa tahu mereka bakal kena." Karena memang sudah menjadi rahasia umum, manakala selama 3 tahun terakhir DPR sudah dikenal rakyat sebagai Dewan Penipu Rakyat atau Dewan Perwakilan Rampok. Terlihat dengan jelas betapa kaya rayanya anggota DPR itu, bagaimana undang-undang dimainkan, proyek dimainkan, dan semacamnya yang kesemuanya mengarah kepada praktek merampok rakyat.
Bisa disaksikan betapa banyaknya wakil rakyat terutama di daerah yang sudah diseret ke pengadilan. Dan ada sebuah keyakinan, bahwa semua itu baru sebatas prologe. Akan semakin banyak bila para wakil rakyat itu sudah tidak mempunyai tempat duduk di kursi dewan. Dan yang perlu diingat bahwa wakil rakyat dan mantan wakil rakyat di tingkat pusat hampir belum tersentuh. Golkar dan PDIP adalah sangat dominan di kaolisi kebangsaan. Dan seperti kita tahu, mereka lah biang korupsi-korupsi besar. Bukankah Kwik Kian Gie, tokoh PDIP saja pernah mengakui beberapa tahun yang lalu, bahwa partainya partai terkorup. Sementara Golkar sendiri sudah punya sangat banyak catatan besar terkait dengan KKN ini.
Secara jumlah, mayority Golkar dan PDIP di parlemen bisa menjadi batu sandungan yang cukup berarti dalam mengimplementasikan agenda-agenda pemerintah dalam pemberantasan KKN. Karena golongan penyeimbang, kaolisi kerakyatan punya keterbatasan dari segi jumlah anggota. Modal ketenangan SBY dalam mengambil kebijakan juga bisa menjadi salah satu unsur penangkal intervensi ke arah negatif yang datang dari parlemen. Dan yang utama adalah ke-istiqomah-an golongan putih dalam menggunakan hati nurani dalam bertindak terhadap sesuatu yang berhubungan langsung dengan hajat hidup masyarakat secara keseluruhan. Dan tentu peran seluruh masyarakat untuk selalu memonitor gerak langkah penguasa dan wakil rakyat menjadi dasar itama, kita akan tetap melangkah ke arah lebih maju, atau justru kembali ke masa zaman kuda gigit besi. (AF, Yokohama)