Pical Masuk Buih

Pical adalah sebuah nama kesohor di belantara pertinjuan tanah air di pertengahan tahun 1980-an. Itulah nama sang juara dunia kebanggaan Indonesia yang selalu dielu-elukan oleh masyarakat di seluruh penjuru nusantara ini. Tayangan pertandingannya yang selalu disiarkan lansung oleh TVRI, selalu dinanti-nanti oleh seluruh lapisan masyarakat sampai ke pelosok-pelosok desa. “Pical…Pical…Pical….!” adalah gemuruh teriakan menggema mengiringi setiap pukulan tangan kirinya, entah itu hanya dari balik kaca televisi.

Setelah kalah dari Khaosai Galaxi, petinju Thailand di tahun 1987, nama Ellyas Pical sedikit demi sedikit tersingkir dari hangar-bingar kepopuleran. Putra kelahiran Saparua 45 tahun yang lalu itu, hamper tidak pernah muncul di ruang publik. Konon, dia sempat membuka usaha di tanah kelahirannya. Namun nasib menunjukkan lain. Tempat usahanya hancur oleh ganasnya kerusuhan Ambon.

Nama Pical kembali menghiasi media nasional, tatkala pertengahan Juli 2005 ini, tertangkap tangan tengah menawarkan ekstasi seharga Rp.30.000 kepada polisi yang sedang menyamar. Suami dari Rina Siahaya itu harus masuk buih dengan tuduhan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Kenangan orang akan kebesaran nama seorang juara dunia mencuat kembali. Berbagai komentar bermunculan. Dari pengamat tinju, masyarakat biasa, sampai pemerhati mantan atlit nasional.

Profesinya sebagai petugas keamanan(security) Diskotek Milles Tamansari Jakarta Barat, seakan memaksanya masuk ke kehidupan dunia gelap. Nama besar Pical, yang menurut keterangan sang istri adalah seorang bapak yang lugu, ternyata tidak bisa mendongkrak profesinya pasca gantung sarung tinju. Pendidikannya yang bahkan tidak tamat SD, ternyata mempersulit mendapatkan profesi yang lebih terhormat. Sementara uang hasil keringat dari atas ring, secara otomatis akan berkurang sedikit demi sedikit. Kemudian tiba pada sebuah pilihan yang mau tak mau harus dijalani, mencari tempat mengais rezeki sebagaimana masyarakat umum lainnya. Dan secara otomatis, mahkota juaranya tidak banyak membantu. Sampai akhirnya harus masuk ke sebuah profesi yang memang secara bisnis paling cocok buat beliau. Profesi yang sangat rawan pada hal-hal haram seperti narkoba dan semacamnya. Pekerjaan yang memang mengaruskan untuk berhubungan lansung dengan remang-remang kehidupan malam ibukota. Dan sebagai klimaks alur ceritanya, si mantan petinju kidal ini harus meringkus di balik terali tahanan Metro Jaya.

Apa yang salah dari sebuah kisah sedih sang juara ini. Masyarakat? Pemerintah? Keluarga? Atau unsur-unsur yang lainnya?
Rasanya tidak perlu terlalu jauh mencari kambing hitam seperti banyak dipaparkan oleh para pengamat di media massa. Yang salah tetap saja si Ellyas Pical, mantan juara dunia tinju itu. Pengalaman epndidikan yang termasuk miskin, tidak boleh dijadikan alasan, lalu pemeran utama harus dibebaskan. Toh penangkapan Pical bukanlah secara kebetulan. Informasi masyarakat bahwa dia kerap mengkonsumsi dan menjual pil eksatasi yang menjadi dasar gerak petugas keamanan. Lagian, banyak orang yang kurang mengecam pendidikan, toh tidak ikut-ikutan menjadi konsumer barang haram itu, apalagi sampai jadi seorang penjual.

Sekali lagi yang salah ada diri seorang Ellyas Pical itu sendiri. Tidak perlu terlalu menyalahkan pemerintah yang konon tidak memperhatikan nasib mantan atlit yang nota-bene sudah pernah mengharumkan nama bangsa. Pical lupa diri, bahwa nama besar yang pernah diembannya justru harus dijaga karena mau tak mau dia adalah seorang public figure. Masyarakat tidak mau tau keadaan sang juara selama ini. Yang mereka tau adalah si Petinju kidal nan perkasa. Pical harusnya belajar bagaimana menjaga diri selayaknya seorang public figure. Pada saat ini, tidak perlu mencari kambing hitam pada keadaan ekonomi yang semakin menghimpit. Itu hanya akan mengakibatkan keingkaran pada apa yang pernah dianugerahkan oleh Yang Kuasa.
Pical sekarang harus meratapi nasibnya di sel tahanan. Karena memang itulah balasan minimal yang setimpal dengan perbuatan yang dia lakoni selama ini. Sedih….., semua orang sedih. Tidak rela…., semua orang tidak rela. Kasihan…., semua orang berguman demikian. Tapi itu semua tidak akan terjadi tanpa sesuatu yang dari diri kita sendiri. Pengabnya kehidupan di balik terali besi, tidak bisa diwakilkan pada orang lain. Dan juga tidak bisa di tukar dengan mahkota sang juara. Kalau perlu, hukuman harus lebih berat dari masyarakat umum pelanggar norma yang sama. Imbas jeleknya pada masyarakat jauh lebih besar. Oleh karena itu hukuman memang pantas buatnya. Terlepas dari segala rasa kasihan dan penghormatan kepada seorang pahlawan pengharum nama bangsa.(AF, Jakarta)

HermanLaja.COM