Apa itu kemerdekaan?
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan Oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Demikian beberapa kalimat yang ada dalam pembukaan UUD 45.
Lalu apa sebenarnya yang namanya kemerdekaan? Apakah kita betul-betul sudah merdeka dalam artian yang sebenarnya? Masih ada seribu satu macam pertanyaan menyangkut kata kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan bagi kita masih lebih cendrung diartikan sebagai kebebasan dari belenggu penjajah bangsa asing. Kemerdekaan masih identik dengan sebuah format komuniti besar yang dipimpin oleh anak negeri sendiri. Dalam ruang lingkup negara berlabel nusantara ini, step awal kemerdekaan identik dengan "naiknya" Sukarno sebagai orang nomor satu di negeri ini.
Gerbang kemerdekaan buat Timor Leste, adalah menghilangnya pasukan bersenjata yang berlabel TNI, terlepas dari kenyataan lain, bahwa pasukan bersenjata multinegara justru menghiasi setiap sudut-sudut negeri. Yang utama bahwa Xanana Gusmao, sang putra negeri duduk sebagai penguasa puncak negeri itu. Keuangan negara bergantung penuh sama uluran tangan bangsa lain, karena uang belanja yang selama ini hampir semua dikuras dari Jakarta, jadi terputus. Kalaupun ada anggaran yang datangnya dari Jakarta, tidak lebih berupa utang atau sebuah hibah yang mengiyakan label "negara gembel".
Sebetulnya dalam UUD 45, arti kata kemerdekaan yang sesungguhnya, sedikit banyak sudah bisa dieja dengan jelas. Kita tidak perlu lagi mengambil defenisi hasil diktean negara asing. Bebas berkumpul, mengeluarkan pendapat adalah salah satunya. Berhak atas penghidupan yang layak, mengenyam pendidikan dan lain-lainnya juga bisa diartikan sebagai makna dari sebuah kata kemerdekaan itu sendiri. Masalahnya akan muncul bila negara punya kemampuan terbatas. Atau lebih tepatnya negara tidak me-mampu-kan diri. Semuanya jadi terbengkalai. Sebagai gantinya, masyarakat dipaksakan harus puas dengan hengkangnya sang penjajah negara asing. Di-ninabobokkan dengan kebanggaan berbangsa dan bernegara. Padahal ekstrimnya, bisa saja sang penguasa adalah bangsa asing, tapi kemerdekaan dalam artian yang sebenarnya justru lebih terjamin. Walaupun alternatif itu memang sudah tidak punya tempat dalam kehidupan kemasyarakatan manusia-manusia modern.
Masyarakat Indonesia masih sebatas mengartikan kemerdekaan "free from" sebagaimana terminologi Erich Fromm, belum ada gerak kongkrit menuju "free to". Para individu-individu belum pada kondisi "Mandireng Pribadi", sebuah keadaan yang melukiskan kondisi batin pribadi yang memiliki pikiran merdeka. Lalu diikuti oleh sebuah tanggung jawab sosial. Kenyataan saat ini, tanggung jawab sosial sangat jauh dari yang semestinya karena memang kondisi "mandireng Pribadi" masih berupa bayangan fatamorgana di gurun pasir. Kelihatannya ada, tapi pada hakekatnya sebetulnya tidak ada. Akibatnya, rakyat enggan bergulat dengan masalah lingkungan yang sedang dihadapi, seperti masalah sosial, politik, ekonomi, pengangguran, kelaparan, kemiskinan serta sederet penyakit-penyakit masyarakat yang membelenggu kebebasannya. Hal ini bergulir terus menerus laksana sebuah lingkaran setan kehidupan.
Penyakit sosial sebetulnya bukan hanya milik kaum pinggiran. Golongan orang-orang yang meklaim dirinya kaum borjuis-pun justru memberi contoh di barisan terdepan. Pemalsuan ijazah oleh beberapa oknum pemimpin, politisi, dan wakil rakyat menjadi atmosfir publik, di mana bagi yang berhati nurani sangat menggelisahkan. Asalkan ada cukup dana atau uang, kebohongan informasi terhadap publik bisa dilakukan dengan mengebiri kebebasan pers.
60 tahun Indonesia merdeka merupakan sebuah tema yang cukup panjang, terutama bila dikaitkan dengan perkembangan masyarakat ini ditinjau dari berbagai sendi kehidupan. Untuk penjabaran lebih detail, akan dibahas dalam tulisan lain bilaman memang segala aspek penunjang bisa terpenuhi secara menyeluruh. (AF, Jakarta, 17 Agustus 2005)
**** Tulisan ini juga dimuat di www.selayar.com *******