Rumput Laut, Guru Mengenali Diri Sendiri


Di Akhir tahun 1980-an, usaha rumput laut di pantai barat pulau Selayar tumbuh laksana cendawan di musim hujan. Di mana-mana laut-laut di sepanjang pulau itu seakan tidak mau memberikan ruang gerak selain rakit-rakit rumput laut.

Masalahnya muncul ketika hasil panen sudah berlimpah. Masyarakat pada pusing mau memasarkan ke mana. Rumput laut yang dipelihara setengah mati akhirnya jadi sampah di kolong-kolong rumah penduduk, membusuk mengeluarkan bau kurang sedap. Pembiak perintis masih mendapatkan sedikit keuntungan pada penjualan bibit-bibit untuk pembiak baru. Tentu semua berharaf, penjualan perkilo-nya pasca panen bisa sedikit menjadi sumber pendapatan keluarga. Tapi kenyataannya, mereka harus kembali meratapi nasib. Dewi fortuna kembali enggan berpihak kepada mereka. Modal sudah lari, hasilnya jadi sampah. Kalaupun ada yang berniat membeli, harganya justru tidak menutupi modal-modal yang telah mereka keluarkan. Belum lagi tenaga yang dikeluarkan tidak tergolong kecil.

Apakah prinsif ketidakseimbangan SUPPLY-DEMAND yang menyebabkan harga hasil panen tidak sesuai dengan harapan? Apakah supply yang mereka hasilkan sudah sedemikian banyaknya sehingga tidak mampu diserap oleh pasar? Boleh jadi iya, dan tentu juga ada opsi yang mengatakan tidak. Mungkin saja dalam skala mini, tingkat supply demikian tinggi jauh dari demand yang sebenarnya ada. Tapi dalam skala major, hasil mereka itu tidaklah seberapa dari segi kwantitas.

Lalu apa yang salah?
Yang pertama pemerintah seakan tidak mau mengerti tentang apa yang rakyatnya inginkan. Tidak ada backup dari pemkab yang kelihatan dalam kasus ini. Rakyat jalan sendiri-sendiri mengikuti ego dan harapan muluknya. Dan mirif kasus vanili beberapa tahun terakhir ini, pengikut-pengikut belakangan yang jumlahnya tidak tergolong sedikit, bisa jadi hanya merasakan nasib sudah jatuh ditimpa tangga. Modal sudah dihabiskan untuk ikut trend sesaat itu, tapi harga hasil panennya tidak seperti apa yang mereka harafkan. Bukan untung yang datang menjenguk, malah buntung yang setia menjemput.

Lha..., koq pemerintah?
Kasus-kasus seperti ini sudah berulang kali terjadi. Tapi masyarakat yang memang masih bodoh, tidak pernah diarahkan. Lalu apalah gunanya dinas pertanian misalnya. Apakah memang tugas utama instansi itu adalah mencari peluang proyek berupa bantuan dari pusat untuk dihibahkan ke masyarakat luas? Yang itupun tidak ada tindak lanjut membangun yang kelihatan. Akhirnya niat untuk memberikan kail kepada masyarakat kurang mampu agar bisa memancing ikannya sendiri, hasinya karena tindak lanjut yang tidak ada, kail sendiri yang hilang entah kemana. Masih mending kalau kailnya dijual untuk membeli beras misalnya. Tentu ada yang kurang beres dalam masalah ini.

Kita, terutama instansi pemerintah terkait ternyata tidak mengenal diri sendiri. Padahal dalam sebuah pertempuran, bukan kekuatan musuh yang paling utama kita harus kenal secara detail, walau mengenal musuh juga termasuk penting. Kita lebih perlu mengenal siapa diri kita sendiri. Dengan itu kemenangan sudah 50% ada di tangan, walau kita buta sama kekuatan musuh sekalipun. Walaupun kita mengenal seluk beluk musuh, bila apa yang ada di diri kita sendiri tidak pernah kita tau, pastikan bahwa kekalahan akan selalu menjadi teman kita. Tentu yang paling utama dan akan membuahkan 100% kemenangan adalah mengenal diri sendiri dan juga mengenal seperti apa musuh yang sesungguhnya.

Dalam konteks manajerial masyarakat kita yang masih termasuk lugu ini, justru instansi terkait yang seyogyanya menjadi pemimpin di barisan terdepan untuk mengarahkan. Itupun kalau memang ada niat untuk mengangkat tingkat kehidupan masyarakat secara umum, yang bukan cuma dalam bentuk retorika. Toh orang-orang di pemerintahan, sebagaimana slogan yang selalu didengun-dengunkan adalah "abdi negara", "abdi masyarakat". Tentu kemaslahatan masyarakat banyak yang harus jadi prioritas utama. Otak harus diputar mencari solusi mengeluarkan masyarakat dari kerangkeng kemiskinan. Salah satunya adalah mencari tau apa potensi yang ada dalam masyarakat. Ini identik dengan mencari tahu tentang diri sendiri. Lalu, step selanjutnya adalah kemana potensi itu akan diarahkan, yang mana ini salah saru realisasi mengenal wujud musuh yang sebenarnya.

Contoh nyata adalah rumput laut seperti diungkit dalam aliea awal. Diri sendiri saja belum kita kenal. Apalagi siapa sang musuh yang sesungguhnya, lebih-lebih kita tidak mengenalnya. Hasilnya....., yah seperti yang kita alami sendiri. Sesuai teori di atas, 100% pasti mengalami kekalahan. Ini hukum alam, yang di negeri sakura diungkapkan "Ko wo siru, teki wo siru hyaku sen makezu".

Pemkab Takalar ternyata tidak mau kehilangan tongkat "rumput laut" dua kali. Dan hasilnya seperti dilansir oleh harian Fajar, saat ini Takalar telah menjadi inkubator pengembangan rumput laut di Sulsel. Sementara daerah sekitarnya seperti Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba hanyalah sebagai daerah penunjang atau yang lasim disebutkan sebagai kluster.

Beberapa tahun terakhir Takalar mulai mencanangkan "Gerbang Emas" terhadap rumput laut ini. Akibatnya produk meningkat yang bahkan membias ke daerah-daerah sekitarnya. Dalam hal ini, peran pemkab tidak tergolong sedikit. Mereka berusaha mengenali diri sendiri. Potensi yang mereka lihat adalah rumput laut itu. Dana 1 milyar pun diambil dari kocek APBD sebagai bantuan modal kepada petani rumput laut di Takalar.

Dalam rangka mengetahui medan lawan, pemkab Takalar ternyata cukup brilyan. Pengusaha besar sebagai peninjaklanjut hasil rumput laut petani-pun diundang untuk saling ber-simbiosis mutualisme. Dengan dukungan suasana yang kondusif, gayungpun bersambut. Karena memang pengusaha yang lebih tahu medan, ke mana hasil-hasil petani tersebut bisa diserap. Dan memang ternyata pasar dunia tidak pernah kenyang akan pasokan rumput-rumput laut itu. Dari negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Inggeris sampai ke kawasan asia seperti hongkong, Jepang dan lain-lainnya memang sebuah pasar yang tidak akan pernah berhenti minta pasokan rumput laut. Dari industri kosmetik, obat-obatan, sampai sebagai bahan makanan selalu membutuhkannya.

Kini, Kabupaten Takalar menjadi jaya dari segi rumput laut. Pasar dunia sudah dirambah. Tinggal menjaga kesinambungan dan kwalitas hasil mereka. Pasar tidak akan pernah berhenti minta pasokan. Karena masyarakat dunia tidak pernah berhenti membutuhkan barang yang bahan bakunya banyak dari rumput laut.

Kalau saja dulu, Selayar dengan pemerintah sebagai icon terdepan, mau mengenali diri sendiri, lalu berusaha mencari tahu tentang pasar sebagai lawan, bukan cerita muluk kalau Selayar telah lama berjaya lewat rumput laut itu. Karena kita punya potensi pantai yang begitu luas sebagai medium pembiakan rumput laut tersebut. Sekarang kita hanya bisa gigit jari melihat tetangga sebelah berjaya di medan yang sebetulnya kita pernah bergumul di dalamnya. Dan tentu masih ada lagi contoh konkrit lain yang mirif dengan fenomena rumput laut ini.

Akankah kita akan terus meratapi nasib yang kata kita tidak pernah berpihak kepada kita? Lalu menyalahkan sang nasib tersebut. Tentu tidak. Akan tetapi sungguh naif kalau otak kita hanya sampai pada kata "TIDAK" tersebut. Kita mesti belajar. Pemerintah tentu harus lebih giat belajar lagi. Bukan mengarahkan anggaran ini ke kotak-kotak pengeluaran yang semu. Pelajari siapa diri ini sesungguhnya. Apa potensi yang ada pada diri ini. Dengan itu kita sudah bisa melangkah ke 50% kemenangan. Tanpa itu, kita tidak tau, sampai kapan kita akan tetap gigit jari.(AF, Jakarta 14 Agustus 2005)

HermanLaja.COM