Kebenaran & Pembenaran

Saya hanya bisa termanggut-manggut di dalam mobil omprengan pulang dari kantor. Sang sopir yang konon seorang manager di Planet Holywood, bercerita tentang atasannya sewaktu bekerja di sebuah hotel ternama di bilangan jl. Thamrin. Ruang waktu kejadiannya memang sudah 15 tahunan yang lalu, akan tetapi kenyataan ini belum berubah sampai detik ini. Sang atasan yang berkebangsaan Jepang pernah berkomentar kepadanya mengenai penerimaan karyawan lokal. Kita tidak perlu orang pintar, melainkan orang-orang bermoral. Bertanggungjawab dan menghargai pekerjaan sebagai wujud moral orang tersebut pekerjaannya. Masalah teknis, kita bisa ajari, namun masalah moral sungguh susah untuk diluruskan. Orang Indonesia sebenarnya pintar-pintar, demikian sang atasan melanjutkan celotehannya.

Hari sabtu kemarin, ada berita keberhasilan generasi muda bangsa ini dalam merebut berbagai medali dalam ajang olimpiade kimia 2006. Bahkan sejak hari minggu ini, putra-putri ibu pertiwi kembali mengukir prestasi membawa RI menjadi juara dunia Olimpiade Fisika yang digelar di Singapura sejak 8 Juli 2006 yang lalu. Hal ini bisa membuktikan kalau negara ini sebetulnya bukanlah negara berotak udang. Sekali lagi bahwa dimensi akal generasi bangsa ini memang tidak masuk kategori rendah.

Indonesia saat ini, tetap tidak berubah banyak. Bukan karena kelangkaan orang pinter, namun karena susahnya mencari orang yang bermoral indah. Proses pembangunan antara akal dan budi masih pincang. Akal tertempah sementara budi tetap saja berbaring, ketinggalan di kamar tidur. Dan menurut Jakob Sumardjo dalam opininya di harian kompas edisi 15 Juli 2006, Manusia Indonesia lebih suka dinilai pintar daripada bener. Pintar milik beberapa orang, sedangkan benar harusnya milik semua orang, karena pinter berdimensi akal atau pikir, sementara benar berdimensi nurani alias budi. Akal dan budi seharusnya jalan seiring bergandengan tangan tanpa ada yang merasa di-superior-kan.


Akal & Pembenaran
Dunia modern adalah dunia orang pinter. Siapa pintar akan "benar". "Kebenaran" orang pintar adalah konstruksi pikiran. Semuanya akan benar jika bangunan pikirannya tersusun rapi, koheren-menyatu, sesuai hukum logika. "Kebenaran" orang pintar adalah kebenaran eksklusif dan isolatif karena hanya benar dalam bangunannya sendiri. Orang pinter hanya benar di lingkungan yang bangunan pikirannya sama atau mirip. Dan usaha menyamakan pikiranpun bisa dengan pikiran, yang kalau diseksama-i itu tidak lebih dari konstruksi akal bulus yang mengatasnamakan logika.

Keengganan Bush mengikuti Protokol Kyoto-pun akhirnya jadi "benar", karena diramu dengan mengatasnamakan logika, kepintaran. Demikian juga "persetujuan" agresi militer Israel ke negara tetangganya. Maka wajar kalau banyak aktivis turun ke jalan berniat menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Pertemuan petinggi G8 yang dilaksanakan di Moskwa-pun jadi ricuh oleh mereka yang mengatasnamakan penolak format globalisasi. Pertemuan itu tidak lebih dari usaha merapatkan barisan menyusun langkah mempecundangi dunia ketiga demi kejayaan kelompok sendiri.

Keunggulan pemikiran mereka mampu menelurkan "kebenaran" yang pada dasarnya tidak lebih dari strategy untuk selalu bisa menguasai apa yang ada di muka bumi ini. Tapi tetap saja bahwa "kebenaran" hasil ramuan alam fikir sang adidaya sampai kapanpun tidak akan bisa berubah wujud menjadi kebenaran yang sesungguhnya. Kosakata yang paling tepat untuk hal ini adalah "pembenaran". Memaksa sesuatu hal menjadi "kebenaran" dengan latar belakang keunggulan alam fikir. Toh pembenaran tidak akan mampu terbantahkan tanpa adanya statement pembantahan dengan deskripsi alur logika yang tersusun rapi dan mengena. Dan sekali lagi, pembenaran adalah hasil kerja akal pemikiran. Siapa pintar mereka "benar".


Budi & Kebenaran
Budi adalah asal muasal kebenaran yang sesungguhnya. Walau kebenaran hakiki sendiri kadang lebih terkotak pada pemikiran religi. Kalau kita menghindari kebenaran dari kotakan religi, akan semakin jelas bahwa kebenaran berasal dari budi itu sendiri.

Kebenaran tidak butuh alat pikiran yang njelimet. Cukup dengan bahasa kanak-kanak. bahasa penghayatan, bahasa kebenaran. Bahasa spontan, bahasa spiritual walaupun kita pisahkan dari unsur religi. Boleh jadi merupakan bahasa tanpa pikiran, bahasa hati nurani.


Kenyataan, di alam sekarang ini, manusia kian buta melihat kebenaran. Kebenaran tidak pernah dihayati, dialami. Dirasakan, dimasukkan dalam kata hati. Kebenaran hanya dilihat dalam kepintaran berkata-kata. Kebenaran yang nyata hadir secara konkret di depan mata itu pun dapat diingkari oleh kepintaran. Dunia ini dapat dijungkir balik oleh kepintaran. Yang benar itu salah, yang salah itu benar. Di mana nuranimu manusia? Di mana kanak-kanakmu?

Manusia yang benar kini dinilai sebagai manusia bodoh. Lebih baik menjadi orang benar meski tidak pintar. Tentu lebih baik lagi jika orang benar itu juga orang pintar, daripada menjadi orang pintar tetapi tidak benar. Dan kenyataannya di Indonesia ini kian banyak orang tidak benar sekaligus tidak pintar. Itulah tragedi bangsa ini, banyak orang pintar tidak benar dan banyak orang tidak benar yang tidak pintar. Demikian Jakob Sumardjo menjelaskan. Jadi ternyata lebih "menyeramkan" dari apa yang diungkapkan sang atasan Jepang diawal tulisan ini. (AF, 16 July2006)

HermanLaja.COM