Hidup ini memang penuh dengan lika-liku. Semua manusia pasti selalu menghadapi tumpukan problema kehidupan. Yang kaya kadang pusing bahkan sampai botak ngurusin gimana caranya agar hartanya tidak berkurang, kalau bisa malah makin berlimpah sampai tak habis dikomsumsi anak cucu hingga 7 turunan. Yang miskin pun bingung memutar otak yang tidak sampai-sampai, mencari peluang untuk bisa mengais rezeki untuk anak bini di hari esok, bahkan untuk menutupi kebutuhan utama ntuk bisa hidup hari ini. Dari kelas selebriti, pejabat hingga golongan buruh kasar atau gelandangan semua sama, punya beragam urusan masing-masing. Tidak ustadz ataupun preman, masing-masing punya sumber "kebingungan" yang bervariasi.
Hidup ini penuh dengan berbagai ragam warna kehidupan. Sekecil apa-pun warna-warna itu akan pernah dialami oleh setiap individu. Ada masa-masa senang, gembira, bahagia atau situasi lain yang berwajah positif, dan tentu ada juga saat-saat kita merasa terpuruk, sedih, marah, atau merasa tiada berdaya melawan problema hidup. Jalan hidup memang penuh bukit dan jurang. Kita ditakdirkan untuk melalui setiap garis hidup yang naik-turun itu. Toh roda kehidupan tidak akan pernah berhenti berputar selagi napas masih ada di kandung badan. Karena memang begitulah warna kehidupan yang sesungguhnya. Dan tidak ada seseorang-pun yang akan mampu melawan kodrat alam.
Dalam menghadapi warna-warna kehidupan, kita sebetulnya tidak dituntut untuk ber"happo-bijin". Prilaku yang berkonotasi negatif berprilaku manis untuk menjilat atasan atau orang-orang sekitar. Me-manage diri untuk selalu "baik" buat semua orang. Apalagi dibalik ke"mulia"an prilaku itu, justru menginjak-injak diri sendiri. Tidak perlu menghambakan diri sampai menderita demi membuat orang lain senang. Sangat tidak perlu. Dan kita pasti tidak akan bisa menyenangkan semua pihak di sekeliling kita. Sebuah langkah bisa saja berujung pada "menyenangkan" seseorang, tapi di lain sisi justru membuat orang lain merasa dirugikan, bagaimanapun bentuknya.
Kunci dasar sebetulnya adalah menjalani hidup dengan mengikuti nurani sendiri. "Keep the faith", demikian Bon Jovi "mengajarkan" ke kita. Dan harus mau berbuat sesuatu dengan latar belakang kata-kata, "it's my life", sekali lagi meminjam kata-kata Bon Jovi. Atau kalau Doel Sumbang bilang, "Anjing menggonggong kafilah berlalu". Sesuatu yang keluar dari nurani kemanusiaan, sudah pasti merupakan "perintah" yang terbaik. Karena nurani selalu melantunkan pantun kebenaran. Dan bahkan tidak mengenal partisi kasta, kultur, bahkan reliji sekalipun. Karena nurani adalah bahasa kebenaran yang sesungguhnya.
Segala tindak-tanduk yang kita lakukan pasti ada yang pro dan ada yang kontra. Tapi bukan berarti langkah kita mesti berhenti hanya karena suara bisik-bisik pro-kontra tersebut. Jalani hidup yang diingini. Kalaupun ada rules, hanya satu intinya, "tanggung jawab kepada diri sendiri". Yah..., jadi bukan ke orang lain tapi ke diri sendiri dalam artian kata hati sendiri. Tidak perlu pengkajian yang super kompleks. Malah terlalu simple, bertanggung jawab pada diri sendiri. Sepanjang itu bisa dilaksanakan tanpa adanya ganjalan di hati, niscaya keputusan itu merupakan keputusan terbaik yang akan siap untuk dieksekusi. Kalaupun masih ada bisikan menggoda, silakan tutup mata tutup telinga dan "GO!".
Lalu hasilnya pasti akan sesuai yang diharafkan? Jangan bermimpi. Hidup ini tidak semudah itu. Tapi lalu menyalahkan langkah yang telah kita pilih juga bukan hal yang bijak. Kita cuma bisa berusaha, yang menentukan tentu bukan kita. Tapi bukan berarti kita harus pasrah. Sikap yang paling enak dan benar adalah seberapa bisa kita menikmati setiap hasil akhir dari sebuah usaha, bagaimanapun warnanya. Entah itu hitam, abu-abu, putih atau seperti sebuah permen, manis, asam atau asin. Dan kembali pada judul tulisan ini, "Semua datang bukan tanpa HIKMAH". (AF, 15 Agustus 2006)