Dalam hidup ini tidak ada kejadian yang tiba-tiba tanpa adanya sesuatu yang jadi penyebabnya. Jadi jangan mau percaya dengan kata-kata "sim-sala-bim" sang tukang sulap. Yang ada, kita hanya tertipu oleh trick yang ada di balik itu semua. Tentu hal ini harus kita pisahkan dengan asal-muasal kehidupan atau hal-hal lain yang "melibatkan" yang Pencipta secara langsung. Karena Sang Pencipta punya segala "otoritas" dengan "kun fayakun"-Nya.
Hubungan sebab-akibat ini yang menjadi dasar teori "logical thinking". Segala sesuatu pasti ada rentetan kondisi-kondisi yang menjadi latar belakangnya. Kejelian menganalisa berbagai aspek seputar suatu masalah menghasilkan sebuah keputusan yang lebih akurat. Di sudut itulah "logical thinking" berperan besar. Paparan logical juga bisa berimbas pada daya "pengiyaan" sebuah argumen. Pendapat yang tidak tepat-pun akan kedengaran "benar" dengan banyaknya statement pendukung sebagai bumbunya. Dari prespektif itulah seorang "pendebat" bisa kelihatan hebat. Karena kita tau, manusia-manusia modern tidak lagi menjadi penganut taklid buta yang mengiyakan pernyataan dari sebuah sosok tanpa mau menggunakan akal nalar. Kalaupun masih ada, hampir pasti mereka tidak akan mampu bertarung menghadapi ganasnya perputaran roda zaman.
Logical Thinking
Siapapun tau kalao urusan me-manage negara bukanlah hal yang gampang. SBY dengan segala kharisma yang dimilikinya dari awal pasti banyak dihadapkan pada suatu keadaan yang serba dilematis. Sementara sebuah keputusan harus ditelurkan. Ada yang pro & ada yang kontra adalah hal yang wajar. Keputusan tetap harus diambil.
Dalam banyak langkah yang dilalui dalam memimpin negeri ini, sang Kepala negara SBY kelihatan banyak menempuh jalur kehati-hatian. Terbaca, pertimbangan-pertimbangan logika-nya demikian besar. Sehingga wajar kalau di suatu keadaan, beliau terkesan lamban. Apalagi ditambah embel-embel "tidak rela" popularitasnya akan memudar. Tapi bukan berarti hal itu salah. Karena management tanpa dasar logika bisa berwajah banten mabuk. Tabrak sana tabrak sini tanpa ada alasan dan tujuan logic yang jelas. Bisa jadi sang mangsa yang ketabrak sehingga sang pengikut bisa bersantap kekenyangan. Tapi kemungkinan menabrak bongkahan batu besar yang mengakibatkan sang tanduk rontok, sang gigi tanggal, tulang-tulang pada remuk, yang berujung badan terkapar tak berdaya yang justru harus bersiap tersantap ama komunitas lain.
Kajian logika terhadap suatu masalah, tidaklah semestinya terlalu berbelit-belit. Waktu yang dihabiskan dalam menganalisa hal-hal untuk sebuah strategy tidak boleh panjang. Karena keputusan "paling tepat", kadang tidak lebih hanya sebuah sampah bila timing-nya sudah lewat. Ibarat kue super lezat tapi sudah kadaluarsa. Bukan kenikmatan yang didapatkan, malah penyakit yang akan datang menggerogoti sang raga.
Snap Judgment
Berbeda dengan SBY, wapres Jusuf Kalla lebih kelihatan bossy pada beberapa langkahnya dalam memimpin negara. Keputusan secepatnya ditelurkan "tanpa" analisa panjang tentang duduk permasalahannya. Cenderung berwajah otoriter, memaksakan sebuah keputusan. Hal ini yang oleh para analis sering dipandang sinis, bak "orang mabuk".
Konon, dalam otak manusia ada sejenis komputer internal yang bisa mengantar pada penarikan kesimpulan yang super cepat. Hal ini yang biasa disebut bawah sadar adaptif atau adaptive unconscious. Kesimpulan sekejap semacam ini yang sering disebut SNAP JUDGMENT. Akankah seorang Jusuf Kalla punya naluri tinggi untuk bisa membuat Snap judgment? Karena kita memang sulit memahami fenomena pemahaman cepat yang merupakan landasan dari sebuah snap judgment.
Dari sebuah analisa mendalam, ternyata telah dibuktikan bahwa keputusan sekejap yang "hanya" bermodalkan cuplikan tipis atau disebut thin-slicing, tidak kalah akurasinya dengan sebuah keputusan hasil analisa super kompleks dengan tumpukan informasi-informasi pendukung. Malcolm Gladwell dalam bukunya, "blink", menyingkapkan bahwa orang-orang yang pandai mengambil keputusan yang tepat bukanlah orang yang memproses paling banyak informasi atau yang sengaja menghabiskan waktu paling lama, namun orang-orang yang telah melatih diri mereka untuk menyempurnakan seni membuat cuplikan tipis -thin slicing- menyaring sesedikit mungkin faktor-faktor terpenting dari sejumlah kemungkinan yang menggunung.
Gladwell memaparkan bahwa kemampuan membuat "Snap Judgment" adalah suatu hal yang bisa dilatih. Hal itulah yang disebut "kemampuan berpikir tanpa berpikir" yang diuraikan dalam "blink". Bagi anda yang "berniat" menjadi pemimpin dan berniat mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang berhubungan dengan "snap judgment", tidak ada salahnya membaca dengan seksama, "blink * Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir". Semoga anda tidak hanya bisa berkutit pada keputusan-keputusan yang sudah basi, laksana sang rembulan yang menampakkan batang hidungnya tatkala fajar sudah mulai menyingsing. (AF, 21 Agustus 2006)