Salah satu jalan untuk cepat maju adalah memperbanyak pertanyaan "seandainya...". "Seandainya" di sini dalam artian yang positif. Bukan membual semacam, "seandainya saya jadi suami si seksi latino Jennifer Lopez" misalnya, "seandainya saya yang jadi presiden di negara Pelanggar Ham terparah Amerika Serikat", sementara kenyataan bilang saya adalah anak negeri kelas bawah di sebuah negara yang serba amburadul Indonesia ini. Sementara kapasitas otak pun tidak tergolong di atas rata-rata. "Seandainya" model ini adalah "seandainya" yang masuk kategori "mimpi di siang bolong", sangat tidak realistis.
"Seandainya" pemicu maju adalah "seandainya positif dan masuk akal". Seandainya manager saya yang menghadapi masalah ini, kira-kira apa yang akan dilakukan. Seandainya saya yang meng-handle proyek besar itu, langkah-langkah apa yang seharusnya saya tempuh. "seandainya"-"seandainya" macam ini adalah positif. Memang itupun baru berupa angan-angan yang tidak ril, tapi setidaknya bisa mengajak otak berpikir. Toh, konon otakpun makin sering dirangsang makin meningkat kinerjanya. Sebaliknya sel-sel otak yang tidak dipakai dengan sendirinya akan mati, atau minimal menciut tidak bisa bekerja dengan baik.
Pertanyaan "kalau saya gimana?", akan mengarahkan diri kepada sebuah pikiran orijinal. Sehingga tidak selalu hanya diposisikan dalam status pengekor atau penjiplak. Dari pertanyaan itulah akan keluar ide-ide brilian baru, yang mungkin saja lebih berkwalitas dari pemikiran yang ada selama ini. Menurut Kenji Mizutani, seorang ekonom berkebangsaan Jepang berpendapat bahwa penciptaan orijinalitas banyak tertularkan dari pertanyaan "kalau saya gimana?" ini. Dan kreatifitas semacam itu adalah sesuatu yang bisa dilatih untuk mengembangkannya.
Salah satu cara melatih pembentukan ide orijinal adalah dengan memperbanyak mendengarkan berita, mendengarkan komentar para pengamat di bidang tersebut. Dan tatkala mendengarnya, "tidak" dibenarkan mengiyakan komentar atau berita itu, seberapa terpercaya pun sumbernya. Perlu selalu ditanamkan rasa "kecurigaan" akan kebenaran berita atau komentar tersebut. Dan pada saat itu juga menelaah dan memikirkan dengan seksama yang selanjutnya merangkum pemikiran sendiri. Dengan itu, akan selalu ada jawaban dari pertanyaan "kalau saya gimana?". Dan selanjutnya dari situlah asal dari sebuah pemikiran orijinal.
Contoh kongkrit dalam kehidupan sehari-hari misalnya, tatkala seorang teman mendapatkan sebuah tugas, cobalah dipikirkan, "Kalau saya bertugas seperti itu, akan menempuh jalan ini". Kalau cara yang dipikirkan itu bisa berhasil, urusannya selesai karena memang itu yang diharafkan. Kalaupun ternyata cara yang dipikirkan itu mendapatkan jalan buntu alias tidak berhasil, tidak masalah. Asal selanjutnya ada tindak lanjut evaluasi, kenapa cara tersebut tidak berhasil.
Yang paling diharapkan walaupun case seperti ini pasti termasuk jarang, adalah bilamana cara yang dipikirkan ternyata lebih berhasil dari cara yang umum dipakai. Pada saat inilah diharuskan mengkaji dengan seksama faktor sebab akibat ke-lebih berhasil-an itu. Karena itulah sebetulnya pemikiran orijinal yang diharapkan.
Pun pada dasarnya, kemampuan mengajukan jawaban "kalau saya gimana?", akan mampu membius orang-orang sekeliling untuk hormat pada anda. Karena lingkungan cenderung menghormati orang-orang yang punya pendirian sendiri dibanding yang hanya mampu ikut-ikutan. Juga kemampuan memberikan jawaban "kalau saya gimana?", bisa memberikan rasa kepercayaan seorang atasan kepada anda. Lalu keluarlah kesimpulan sang atasan, "OK, kita percayakan anda menghandle pekerjaan ini". Dengan itu, peluang ber-inovasi pun makin terbuka lebar. Kesempatan berkarya makin banyak, dan tentu akan berimbas kepada semakin meningkatnya karir anda dalam organisasi/perusahaan yang ada ikuti. (af@jkt, 26 Desember 2006)