Kolaborasi Tua-Muda

Dalam sebuah organisasi/perusahaan umum dan besar, orang-orangnya bisa dikelompokkan pada 2 kelompok besar sesuai dengan generasi mereka. Generasi baby boomers yang mewakili kelompok senior, dan generasi millenial yang mewakili golongan junior. Masing-masing dengan karasteristik umum yang menampakkan perbedaan. Demikian juga life style yang memang berasal dari karasteristik tersebut.

Generasi baby boomers
Generasi ini sarat akan pengalaman dan know-how. Menjadi pembuat kebijakan dan penentu utama gerak sebuah organisasi. Ketinggian tacit knowledge mampu beradaptasi dengan baik terhadap kerumitan tatanan birokrasi. Pun mereka punya tingkatan loyalitas yang tinggi pada organisasi. Dan yang pasti, generasi ini cenderung bisa mengontrol diri terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi.

Salah satu kekurangan generasi baby boomers ini adalah, kecenderungan otoriter. Kurang begitu suka menerima masukan terutama dari generasi yang memang lebih cocok jadi anak-anak mereka. Dan yang pasti, kemampuan untuk menyerap teknologi-teknologi baru, tertinggal dari generasi berikutnya. Menganggap perangkat komputer adalah barang mewah nan sensitif, sehingga ada kekhawatiran rusak bila mereka memaksakan diri menyentuhnya. Sehingga tatkala generasi millenial sudah menganggap internet sebagai sebuah kebutuhan, mereka masih mengira 'barang' itu hanya sebagai media untuk bisa mem-plototi gambar-gambar cabul tak ber-etika.


Generasi Millenial
Generasi millenial yang lahir di sekitar tahun 1980-an atau tamat kuliah tidak jauh dari pergantian millenia tahun 2000 yang lalu, tergolong haus, ambisius dan gila belajar. Yang pasti, secara teori-pun daya tangkap dan daya serap mereka cenderung lebih tajam daripada generasi pertama.

Generasi terakhir ini memang punya daya orientasi yang lebih kuat, lebih berani "hands on", fleksibel dan bisa bekerja tim. Mereka pun lebih senang belajar secara praktis daripada teoritis. Kecenderungan mereka lebih suka menghabiskan waktu di depan komputer, daripada menghadiri acara arisan keluarga. Mereka lebih enjoy ngobrol via internet dengan lawan diskusi yang tidak kenal batas negara dibandingkan ikut rapat kerjabakti kelurahan di rumah Pak RT. Intinya, mereka gemar teknologi.

Salah satu kelemahan generasi ini adalah, sikap 'sok tahu', atau bahkan 'ngocol', ceplas-ceplos, kontrol diri lemah dan cenderung membabi-buta. Kadang tidak sabar mendengarkan wejangan-wejangan dari para senior yang merasa 'perlu' memberikan arahan. Juga tidak begitu menyukai kompleks-nya birokrasi yang ada dengan jiwa besar.


Manajemen Multigenerasi
Di Indonesia, terutama di BUMN-BUMN, masih cenderung memandang sinis generasi millenial sebagai anak bawang. Belum tahu apa-apa. Dan mungkin masih ada kekhawatiran berlebihan mengingat tabiat generasi ini yang memang terkadang cenderung lepas kontrol. Akibatnya, masih ada misalnya perusahaan yang seluruh karyawan di bawah 40 tahun sekedar diserahi posisi staff, atau bahkan yang lebih rendah.

Ada kecenderungan jajaran manajemen di perusahaan-perusahaan besar di negara maju mulai menerapkan 'manajemen multigenerasi', sebuah format manajemen yang merupakan perpaduan kedua generasi tersebut. Tingkat usia generasi baby boomers yang sudah menjelang pensiun, mau tak mau memaksanya untuk 'sharing knowledge' kepada generasi-generasi berikutnya. Karena bayangkan tanpa tindakan seperti itu, sementara manajemen yang ada sudah memasuki detik-detik terakhir. Sehingga tanpa regenerasi, akan sulit mencari pengganti generasi-generasi terdahulu untuk menduduki posisi-posisi penentu kebijakan.

Manajemen multigenerasi ini seharusnya menghasilkan sebuah kolaborasi yang sangat potensial. Itu kalau kedua pihak mau memperlihatkan niat baik untuk saling mengisi. Karena kelebihan di satu sisi, bisa mengisi kekurangan di sisi lain, dan demikian pula sebaliknya. Hanya saja, kita masih melihat bahwa individu-individu senior di dalam organisasinya belum tentu semuanya siap dan sadar akan perlunya 'menurunkan' pengalaman dan 'know-how'nya pada yang muda-muda yang nota bene haus dan gila belajar itu. Padahal regenerasi adalah sebuah keharusan, karena kalau tidak keselamatan eksistensi organisasi akan menghadapi ancaman serius.

Kegiatan seperti forum eksekutif adalah sarana "sharing knowledge" yang dapat membantu para junior belajar melakukan 'networking' dan memperluas wawasan bisnis riil dalam suasana sejajar dan bukan terang-terangan belajar. Proyek bersama antargenerasi, seperti mencobakan produk baru, R&D, dan yang lain-lainnya, wajib 'hukum'nya sehingga setiap pihak bisa belajar dari yang lain. Dan biasanya, kalau ukuran kelompok termasuk kecil dan sasaran yang jelas, maka generasi yang berbedapun bisa bekerja sama lebih cepat. 'Professor' perusahaan atau organisasi harus mau mendengarkan dan mengarahkan langsung para junior, sehingga merekapun bisa tahu persis apa tujuan, visi, dan misi perusahaan.

Masalahnya adalah, bisakah 'memasangkan' individu senior yang sarat integritas dan pengalaman dengan para juniornya? Mengelolah berbagai generasi berarti mengelolah calon pensiunan yang sedang mekar-mekarnya, yang penuh kematangan yang cenderung kaku dengan generasi yang dinamis dan gemar teknologi serta gila belajar bahkan terkesan cuekitu? Bisakah kita menciptakan suasana kerja menciptakan suasana kerja yang nyaman buat setiap generasi? Bisakah para senior sabar menghadapi para junior yang 'sok tahu' yang bahkan kadang tanpa rasa bersalah melabrak "'etika' yang ada? Bisakah anak muda sabar mendengarkan 'petuah-petuah' yang cenderung mem-birokrasi dengan jiwa besar? Bisakah tua dan muda yang berbeda karasteristik itu ber-kolaborasi? Pertanyaannya, "Bisakah?", tapi jawabannya bukan "iya" dan bukan pula "tidak", melainkan "HARUS". (af@jkt 24 Desember 2006)

HermanLaja.COM