Marahilah Aku!

"Shikararete iru uchi ha Hana", demikian sebuah ungkapan pemacu semangat yang sering terlontar dalam masyarakat Jepang. Ungkapan itu mengajarkan agar bila seseorang memarahi anda, anggap saja itu sebuah pemberian berupa sekutum bunga.

Di lingkungan yang masyarakatnya bertempramen keras, mungkin akan sulit menerima sebuah kemarahan untuk disambut bak menerima pemberian setangkai bunga. Karena memang kecenderungan bahwa tatkala seseorang memarahi kita, rasa harga diri terusik, laksana luka kesiram cuka, pedis tak tertahankan. Sekali lagi, ini sedikit banyak disebabkan oleh rasa ego dan harga diri yang tidak pada tempatnya.

Saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, sempat dibikin "repot" sama seorang teman yang lagi magang di sebuah pabrik di kota kecil tak jauh tempat saya tinggal. Masalahnya karena tidak menerima atasan di pabrik memarahinya. Sementara bahasa Jepang mereka masih belum mampu untuk sebuah pembicaraan yang agak berat. Karena memang saya termasuk akrab sama teman-teman tersebut, dan orang-orang tempat mereka bekerja-pun sudah kenal, saya dipanggil sebagai penengah, biar bisa saling menjelaskan dengan baik permasalahan yang ada, agar arahnya bisa menjadi positif. Dan kalau saya berusaha menyimpulkan, bahwa kemarahan sang atasan sebetulnya memang untuk mendidik. Hanya saja budaya kita yang sedikit beda dari mereka yang menjadi biang pengeruh suasana. Intinya, kita memang kurang bisa menerima sebuah kemarahan dengan positif.

Kemarahan adalah wujud kepedulian. Karena peduli dengan anda maka atasan mau memarahi anda bila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan jalur yang seharusnya. Karena sebetulnya marah itu sendiri adalah suatu pekerjaan yang sangat menguras tenaga. Jauh lebih enteng memuji teman daripada memarahinya. Akan tetapi kadang hal tersebut terpaksa dilakukan, demi organisasi dan demi orang yang bersangkutan.

Anda bisa bayangkan, seorang karyawan yang minggu depan pensiun misalnya, berbuat kesalahan pun paling atasan bilang, "yah....kamu lagi!". Karena sang atasan memang tidak begitu menaruh harapan akan perbaikan pada orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, daripada membuang energi dan waktu untuk acara "marah-marah", mereka lebih memilih diam dan mencari alternatif lain yang bisa meng-cover kesaalahan tersebut. Lain halnya kalau yang berbuat kesalahan tersebut adalah karyawan baru misalnya. Karena ada satu keinginan agar kesalahan tersebut tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Tindakan yang paling bijak bagi seseorang yang menjadi obyek kemarahan adalah, mulai berfikir dari sudut pandang orang yang marah. Dengan itu akan lebih membuka pandangan apa yang salah, dan apa yang memang seharusnya diperbaiki. Jadi, sekali lagi tidak perlu memasang harga diri karena itu tidak pada tempatnya. Dan yakilah, anda dimarahi sebetulnya lebih banyak untuk kepentingan anda sendiri.

Adapun sebuah kemarahan, juga harus profesional. Tidak boleh juga asal "ngamuk" tanpa sebab yang masuk diakal. Tanpa ada niat dan harapan untuk sebuah perbaikan. Dan yang jelas, kemarahan bukan untuk mencari kesalahan individu, melainkan mencari penyelesaian permasalahan. Cuman mungkin obyeknya sebuah individu. Tapi bukan berarti kesalahannya yang ditonjolkan, melainkan solusi perbaikan ke depan. Kalau memang niatnya adalah sebuah solusi, obyek kemarahan pun akan lebih terbuka dan menerima. Walau yang namanya tindakan manusia, tidak hanya terbentuk dari unsur logika realita, melainkan juga ada unsur rasa yang ikut. Dan menghilangkan sama sekali rasa tersebut, bukanlah pekerjaan yang gampang. Dan kelihaian seseorang menyeimbangkan kedua unsur tersebut menandakan kedewasaan dan ketinggian tingkat profesionalitas yang bersangkutan.

Kemarahan dalam lingkungan kerja yang sehat dan profesional adalah hal yang biasa. Sekali lagi demi perbaikan individu-individu penopang organisasi, karena kemajuan sebuah organisasi atau perusahaan bukan hanya dikarenakan kemajuan strategy dan visi-misi yang dimiliki, melainkan bagaimana orang-orang yang membentuk organisasi atau perusahaan tersebut. Oleh karena itu, bersikap "welcome"lah bila atasan memarahi anda. Tapi bukan berarti, masuk di telinga kanan, keluar di telinga kiri. (af@jkt, 21 Desember 2006)

HermanLaja.COM