Berkarya Sebelum Menuntut

Saya teringat seorang teman di tempat saya bekerja beberapa tahun yang lalu. Teman tersebut sebetulnya punya skill terhadap pekerjaan, namun sayang sikapnya menghadapi pekerjaan kelihatan ogah-ogahan. Datang ke kantor pun hampir tiap hari terlambat. Memang tempat kerja saya tersebut menerapkan fleksible time, sehingga bisa masuk kerja jam berapa saja asal dalam sebulannya memenuhi jam kerja yang telah ditetapkan.

Mengingat peraturan perusahaan yang menerapkan system fleksible time, sepintas sang teman tidak begitu kelihatan berbuat "kesalahan". Namun kenyataan mengatakan lain. Project terkadang berantakan gara-gara ketidak-teraturan jam nongol sang teman tersebut di kantor. Efektifitas pekerjaan yang memang dituntut dikerjakan secara tim, mau tak mau jadi negatif. Dan di situlah sebetulnya duduk permasalahannya. Anda datang jam berapa pun tidak masalah, toh peraturan membolehkan anda masuk kapan saja. Akan tetapi tatkala anda bekerja secara tim, di saat itu lah sebagai seorang pekerja profesional, anda dituntut untuk bisa berbuat tidak hanya sekedar melepaskan kewajiban secara makro. Karena ternyata banyak kewajiban-kewajiban mikro yang mau tak mau anda harus ikuti. Kalau tidak, bukan saja anda secara pribadi yang gagal, tim anda secara keseluruhan akan berantakan. Performa pekerjaan menjadi menurun drastis, dan andalah penyebab utamanya.

Sang teman pun punya "alasan" untuk ogah-ogahan bekerja. Konon, berdasarkan keluhannya yang hampir tiap hari berdesis dari mulutnya adalah, reward yang beliau dapatkan tidak sebanding dengan skill yang dia miliki. Dan orang-orang yang menghadapi kenyataan seperti ini sungguh tidak jarang kita temui. Akibatnya tidak bisa allout dalam melaksanakan tugas. Apa yang bisa dikerjakan hari ini, jangan ditangguhkan sampai besok, ternyata tidak berlaku buat mereka. Prinsif yang paling cocok buat mereka mungkin adalah, "I expect nothing, so I do nothing".

Tapi benarkah selalu demikian? Ternyata tidak selalu benar. Dengan memenuhi reward dari pekerjaan sang teman, apakah ada jaminan sikapnya terhadap pekerjaan akan berubah drastis? Tidak ada jaminan sama sekali. Dan yang terbayang adalah, di saat awal-awal "kenaikan golongan dan gaji", mungkin saja beliau puas lalu bekerja sebagaimana mestinya. Namun biasanya, waktu begulir sedikit saja, penyakit lama mereka akan kembali kumat. Kembali lagi menjalani hidup bekerja dengan selimut ketidakpuasan. Wong namanya manusia, tidak akan pernah merasakan yang namanya puas total. Punya satu pengen dua, punya dua pengen tiga. Memiliki sepeda pengen motor, motor kebeli angan-angan mengarah ke kendaraan roda empat, demikianlah seterusnya.

Dan ternyata sang teman memang demikian. Golongan didongkrak, tapi secara jangka panjang, etika bekerjanya tidak berubah sama sekali. Kebiasaan datang terlambat tetap dilakoni. Teman-teman se tim-nya tetap saja mengeluh akan sikapnya yang tetap ogah-ogahan. Project bersama-pun kembali berantakan, tidak efesien. Di awal kenaikan golongan, beliau keliatan bermuka manis dan bersemangat. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena hatinya memang tidak pernah berkomitmen untuk berbuat yang terbaik dalam pekerjaannya.

Seorang pekerja profesional, akan selalu berbuat yang terbaik terhadap tugas yang diembannya. Terlepas reward sesaat yang beliau dapatkan sesuai atau tidak. Karena mereka berprinsif, "apa yang bisa saya persembahkan demi kemajuan organisasiku....?" sebelum "apa yang aku bisa dapatkan dari organisasiku". Terkesan idealis, tapi memang begitulah yang seharusnya. Toh, mereka berprinsif, kemajuan perusahaan atau organisasi, secara otomatis akan berimbas kepada kemajuan diri sendiri secara pribadi. Toh dengan prestasi kerja yang di atas rata-rata sudah pasti akan mendapatkan perhatian dari sang atasan, dan minimal tahun berikutnya "reward" yang sesungguhnya akan kembali ke diri sendiri.

Kadang ada orang yang merasa dirinya pintar, bisa bekerja, sehingga menuntut macam-macam. Padahal sudah jelas-jelas ke"bisa"an-nya itu belum pernah dibuktikan dalam lingkungan kerja yang sekarang. Kalau anda merasa berbuat yang brilian di tempat kerja lama, mintalah reward ke sana, dan bukan ke tempat kerja baru. Tempat kerja baru hanya akan memberikan reward yang signifikan, bila anda sudah bisa memperlihatkan hasil yang memang betul-betul brilian. Jadi bukan dari hasil omongan anda. Oleh karena itu, perlihatkanlah bahwa anda bisa, sebelum menuntut macam-macam. Walau toh, perusahaan tetap akan merefer apa-apa yang telah anda laksanakan selama ini.

Anda sendiri yang memilih untuk masuk ke perusahaan tersebut, oleh karena itu, jalani saja dulu dengan komitmen tinggi, ikut memajukan perusahaan. Berbuat yang terbaik untuk semua. Dengan itu, tanpa mengemis-pun anda akan diberikan reward terhadap apa yang telah anda persembahkan. Ibarat, anda harus bekerja dulu baru dikasih upah. Jangan belum bekerja sudah menuntut upah, dengan beribu-ribu janji yang muluk-muluk. Toh seorang petani pun tidak pernah mendapatkan hasil sebelum bercocok tanam, memeliharanya hingga pada saat sang tanaman sudah bisa dituai. Demikian juga anda, tidak "dibenarkan" meminta balasan sebelum bekerja dan membuahkan hasil yang tentu secara perusahaan menguntungkan. Kalau tidak seperti itu, mendapatkan reward-pun statusnya mirif dengan sebuah hadiah pemberian cuma-cuma. Wong belum berbuat apa-apa terhadap kemajuan perusahaan. Artinya, sekecil apapun, sudah seharusnya anda mensyukurinya.

Jadi bukan cerita "mana lebih dulu ayam atau telur". Karena reward kecil, bekerja jadi malas-malasan, dan hal itu akan mengantarkan anda kepada sebuah lingkaran setan. Bisa jadi, di tahun berikutnya golongan anda malah menurun, sehingga justru makin tidak memuaskan buat anda. Tapi berbuatlah yang terbaik, niscaya reward akan datang dengan sendirinya. Kalau saja anda telah berbuat yang terbaik dan hasilnya pun secara organisasi bagus, lalu reward anda tetap tidak memuaskan buat anda, lebih baik bersiap-siap lah untuk angkat kaki dari lingkungan tersebut. Tempat anda ternyata bukan di sana. (af@jkt, 1 Desember 2006)

HermanLaja.COM