Manajemen Stress

Anda pernah merasa stress? Kalau anda menjawab, "tidak", berarti bisa dibayangkan hidup anda terlalu monoton, hampir tiada terasa adanya gairah hidup. Anda tidak punya motivasi untuk berkembang, dengan bertopeng di balik kata-kata "berserah diri".

Dunia bisnis atau dunia kerja, memang identik dengan dunia yang penuh dengan stress, entah itu skala berat atau stress kelas teri. Dan tingkatan stress sendiri berbanding lurus dengan tingkat aktivitas pikiran. Stressnya tukang becak(maaf) mungkin hanya sebatas bagaimana anak bini bisa menyambung hidup, sementara stress pengusaha kelas kakap, mungkin jauh lebih besar dari sekedar sesuap nasi diri sendiri dan keluarga. Problema tenaga kerjanya juga. Belum lagi urusan pinjaman dari bank yang secara otomatis kadang membuat pikiran gak bisa diajak tidur. Dan masih banyak lagi tetek-bengek penyebab stress yang lainnya.

Karyawan stress melihat keadaan perusahaan tempatnya bekerja yang cenderung lesu. Jangan-jangan kali ini giliran aku yang kena PHK. Namun haraf diketahui, bahwa pimpinan perusahaan lebih stress lagi memikirkan agar perusahan tetap eksis, tidak ada karyawan yang di-PHK, bahkan kalau bisa mencari peluang untuk melakukan ekspansi bisnis. Stress kolektif justru bertengger di pundak sang pimpinan. Jadi bukan hanya memikirkan diri sendiri secara pribadi.

Stress Negatif & Stress Positif
Nakajima Takeshi, seorang jurnalis yang sekaligus sebagai management analist, mengklassifikasikan stress jadi dua macam, yakni Stress negatif dan stress positif.

Stress negatif berupa stress yang mengakibatkan hidup tidak bergairah, makin lesu. Sementara stress positif, mendorong pelakunya lebih proaktif, memacu alam pikir untuk menghadapi masalah yang menjadi sumber stress tersebut. Intinya termotivasi untuk maju.

Pikiran berat yang datang membayangi kepala akibat kesalahan fatal yang dilakukan di hari kemarin, akan berbentuk stress negatif, manakala itu tetap mengganggu aktivitas kita hari ini. Akibatnya tidak bisa berfikir, dan bawaannya selalu negatif. Menjadi tidak bergairah. Lalu muncullah kata-kata seperti, "Saya memang tidak akan mencurahkan segala kemampuan saya kepada pekerjaan, karena reward yang saya dapat tidak sebanding". Hal inipun bisa jadi berwujud stress negatif. Membuat diri jadi tidak bersemangat menghadapi aktivitas yang dilakukan.

Semisal, minggu depan saya harus mempresentasikan sebuah proposal kepada calon customer besar. Hati jadi deg-degan karena takut salah ucap yang mengakibatkan peluang untuk mendapatkan proyek dari sang calon customer jadi hilang. Malah kekhawatiran itu membuat tidur tidak bisa nyenyak. Yang terbayang, nama besar sang calon customer. Keringat dingin pun keluar. Tapi dengan keberadaan tekanan seperti itu, justru memicu tension yang ada dalam diri. Berusaha sekuat tenaga untuk menguasai bahan presentasi. Bahkan malah menuntut kita belajar sesuatu yang sebetulnya bukan bidang keahlian kita. Orang teknik, dipaksa belajar ekonomi, hukum. Tentu itu merupakan tekanan bathin yang termasuk berat. Jiwa dan pikiran jadi stress. Tapi stress seperti ini malah bersifat membangun, dan inilah yang disebut stress positif.

Saya pernah menghadapi "tugas" berat. Menjadi likuidator sebuah perusahaan PMA yang mau dilikuidasi. Padahal selama ini saya hanya berkutit di seputar system development, tepatnya sebagai system engineer. Urusan SDM, pajak, hukum dan yang lain-lainnya tidak pernah terbayang di benak saya sebelumnya. Tapi entah dorongan dari mana, saya menerima tugas berat itu.

Setelah saya menandatangani surat persetujuan di atas kertas bermaterai di hadapan seorang notaris, baru mulai terbayang beraneka ragam tugas yang perlu diselesaikan sebagai seorang likuidator. Belum lagi ada sebagian teman yang seolah-olah menakut-nakuti, bahwa ini berurusan dengan hukum yang bisa saja saya akan terseret ke dalamnya.

Urusan dengan beberapa instansi pemerintah mulai dijalankan. Ini juga yang membuat hati selalu hancur melihat kebobrokan perangkat negara di instansi pemerintah. Mungkin yang suka berurusan dengan hal semacam ini tidaklah merasa aneh, tapi bagi saya yang memang pure seorang engineer, sungguh semuanya terasa sebuah cerita di negeri dongeng. Mau tak mau UU tentang PT-pun dengan berat hati dibaca. Demikian juga undang-undang yang berhubungan dengan likuidasi. Dan bagi saya hal tersebut mengundang stress tersendiri. Karena memang urusan hukum yang njelimet, banyak abu-abunya membuat diri ini serasa semakin bingung. Stress saya waktu itu benar-benar seakan mencapai puncaknya.

Segala persiapan, yang bahkan hal yang sebetulnya tidak begitu urgen yang bisa saya siapkan dibuat selengkap mungkin, itupun masih "dipalakin" sama oknum-oknum pemerintahan. Jadi dengan itu-pun bukan berarti urusan akan jadi lancar. Hal itu semua yang kadang membuat malam tidak bisa tidur, dan banyak menghabiskan waktu di samping kolam ikan di belakang rumah, tatkala manusia-manusia di sekeliling sementara asyik dalam mimpi-mimpi mereka. Belum lagi masalah negosiasi dengan kreditor yang tidak membuahkan hasil yang memuaskan, sementara waktu sudah tinggal tersisa sedikit.

Jiwa betul-betul merasa sangat tertekan. Sepertinya saat inilah stress yang paling berat yang pernah saya alami sepanjang hidup saya. Walau sebetulnya kalau saya mau mencari jalan pintas, bisa saja. Letakkan semua beban, kembalikan ke owner perusahaan yang akan dilikuidasi tersebut, dan tidurpun akan kembali nyenyak karena tidak ada lagi beban berat yang menghantui pikiran ini. Namun saya memaksakan bertahan di dalam situasi ini. Istilah kerennya, tidak mau menyerah, sampai akhirnya urusannya kelar.

Sayapun sampai sekarang masih yakin, bahwa stress yang saya alami berkaitan dengan urusan tersebut di atas termasuk stress berjenis positif. Saya banyak sekali mendapatkan pelajaran darinya, terutama pengalaman-pengalaman yang tidak berhubungan langsung dengan bidang yang saya geluti. Akhirnya, saya bisa mengatakan, "Oh...ternyata seperti itu doang!". Sebetulnya rasa takut karena ke"awam"an lah penyebab utama rasa stress berat yang saya alami saat itu.

Stress Negatif menjadi Stress Positif
Sebetulnya stress negatifpun masih mungkin disulap jadi stress positif. Kegagalan kemarin bisa saja menyeret diri ke stress negatif. Namun bagi mereka yang berfikiran besar, hal tersebut akan diarahkan ke situasi, dimana hal-hal positif dan membangun yang akan akan menggantikan suasana hati dan pikiran. Analisa penyebab kegagalan pun dimulai. Tentu
tujuannya agar kegagalan yang sama tidak terulang dua kali. Toh memang sebuah kegagalan seharusnya menjadi bahan pelajaran, koreksi demi melangkah ke hari esok. Dengan fikiran positif itu justru akan memacu manusianya menjadi lebih baik. Seperti itulah kira-kira contoh sebuah stress negatif di-manage sehingga menghasilkan stress positif.

Intinya bahwa tidak semua stress "wajib" kita hindari. karena memang stress adalah bumbu dari hidup dan kehidupan ini. Makin tinggi rasa stress kita, bisa identik dengan makin aktif kita berfikir untuk hidup. Makin menandakan, kita orang yang memang pengen maju, tidak puas dengan apa yang kita "miliki" saat ini. Itu kalau jenis stress itu positif. Kalau justru sebaliknya negatif, sungguh sangat disayangkan, lebih baik kita lupakan saja. Tidak ada manfaat yang bisa kita petik, selain cuma menghambur-hamburkan waktu dan energi. Ada bahasa anak muda yang bisa kita tiru menghadapi stress negatif ini, "Emang Gue Pikirin". Jadi kalau dalam mengomentari fakta AA Gym berpoligami, seseorang mengatakan, "disamping manajemen kalbu, kitapun perlu manajemen syahwat", dengan ini saya tambahkan bahwa kitapun perlu manajemen stress. Sehingga stress bisa terkendali, mengarah hanya kepada hal-hal yang bersifat positif. (af@jkt, 7 Desember 2006)

HermanLaja.COM