Di suatu kesempatan, seorang rekan mengeluh, "saya hanya dapat kerjaan serabutan". Padahal katanya beliau berkeinginan mengembangkan daya kreasinya pada tugas-tugas yang besar, menantang, sesuatu yang ada tanggung-jawabnya. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Dalam hati saya berguman, semua tugas atau pekerjaan, sudah pasti ada unsur pertanggungjawabannya, terlepas itu besar atau kecil.
Sebagai manusia, kadang kita dikuasai ego "keakuan". Belum apa-apa sudah merasa mampu melakukan hal-hal yang butuh tingkat pertanggungjawaban yang tinggi. Sebagai karyawan baru di sebuah kantor, kadang ada orang "gengsi" kalau hanya diminta membersihkan kantor sendiri. Dalam hati mendumel, ini pekerjaan tukang sapu, dan aku masuk ke sini bukan untuk menjadi tukang sapu. Belum lagi kalau "harga diri" sebagai alumni universitas ternama dibawa-bawa. Permintaan men-fotocopy bahan rapat dari atasan, direspon dengan hati gondok, "yah..., jadi tukang fotocopy lagi...". Lalu pekerjaan itu diselesaikan seadanya, setengah hati. Merasa diri sudah jago, yang mana jenis pekerjaan serabutan tidak level lagi. Akibatnya, output yang dihasilkanpun asal jadi. Tanpa ada kreasi tersendiri untuk berusaha merapikan hasil fotocopy-an tersebut.
Dalam budaya kerja perusahaan di Jepang, karyawan baru tetap karyawan baru. Tidak ada hubungan dengan usia. Demikian juga dengan tingkat pendidikan. Tahun pertama tetap menjadi "SOUJI TOBAN", petugas bersih-bersih kantor. Karena memang di dunia professional, tidak ada golongan yang merupakan hasil produk tingkat pendidikan dan usia. Apalagi hanya mengandalkan pride tamatan universitas ternama. Hierarki kedudukan lebih tercermin dari kemampuan bekerja, menyelesaikan masalah. Kepintaran otak tidak berpengaruh kalau hanya berhenti pada derajat kejeniusan, tanpa bisa berimbas kepada "kebisaan" bekerja.
"Bimbo Kuji" & "Atari Kuji"
Tatkala ada permintaan kerjaan serabutan dari atasan, cara pandang tiap orang berbeda terhadap tugas tersebut. Ada yang dengan gembira menyambut "perintah" itu, apapun jenisnya, termasuk permintaan menghapus white board misalnya. Karena orang-orang type ini, menganggap itu sebagai pekerjaan yang mulia, toh white board tidak bisa digunakan bilamana tidak dihapus dulu. Perintah itu diterima sebagai sebuah "tugas mulia", karena bisa jadi itu juga merupakan bagian terkecil dari sebuah proyek besar. Dengan itu, sedikit banyak ikut berkontribusi. Sehingga hal itupun dikerjakan dengan hati lapang, gembira. Ada niat untuk menyelesaikannya sebaik mungkin. Spidol yang tidak berfungsi lagi disingkirkan, dan diganti dengan yang baru misalnya. Penghapus white board-pun disiapkan dengan rapi sehingga orang yang akan memakai white board tersebut bisa merasa lebih enak. Type karyawan seperti ini yang dalam bahasa Jepang disebut berprinsif "atari kuji". Merasa beruntung kebagian tugas tersebut.
Di lain pihak, kerjaan serabutan dianggap penghinaan. Merasa harga diri diperkosa. Jadinya ada jiwa penolakan di dalam hati. Padahal sebetulnya belum tahu, apa yang sebetulnya bisa dikerjakan. Atasan-pun tidak mau mengambil resiko memberinya beban perkerjaan yang sama sekali belum tau, bisa atau tidak. Ini semua diakibatkan oleh rasa keegoan yang tinggi. Merasa bisa, padahal belum pernah dibuktikan. Akibatnya, dalam hati dipenuhi oleh rasa ketidakpuasan merasa seakan-akan jadi suruhan. Semuanya dianggap negatif. Inilah yang biasa disebut berprinsif "Bimbo Kuji".
Intinya, terutama buat mereka yang mau maju, lebih baik menanggapi pekerjaan serabutan sekalipun, sebagai "Atari Kuji". Merasa beruntung masih diperhatikan. Dan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Diselesaikan dengan sebaik mungkin. Karena hasil yang baik untuk kerja serabutan akan mengundang pekerjaan yang lebih menantang. Demikian akan meningkat terus hingga sebuah pekerjaan yang penuh resiko tanggung jawab, menentukan perusahaan akan tetap eksis atau tinggal nunggu waktu saja. Jangan malah mengelak dan memasang "harga diri" tinggi. Karena dengan itu, sama saja menutup peluang untuk menunjukkan diri, andapun sebetulnya bisa.
Pekerjaan kecil saja tidak becus, apalagi pekerjaan yang lebih besar. Pernyataan itu ada benarnya. Dan rata-rata orang yang bisa kerja, mengerjakan hal kecilpun kelihatan bahwa orang tersebut bisa kerja. Jadi tidak perlu berkoar-koar memuji diri. Apalagi itu hanya soq tau, alias pengen mendapat apresiasi dari orang-orang sekeliling. Dunia profesional tidak mengenal methode seperti itu. Karena memang bukan ngomong-nya yang di-apresiasi, tapi kelincahan tangan dalam bekerja. Akhir-akhirnya, seberapa besar output yang dihasilkan.
Jangan belum apa-apa sudah soq menjadi Bos. Padahal tugas Bos aja sendiri belum tentu diketahui. Yang keliatan cuman enaknya doang. Tapi tidak pernah menyadari, bahwa kadang Bos malah tidak bisa tidur memikirkan langkah apa yang mesti dilalui ke depan untuk bisa menggapai pulau idaman. Intinya, kalau mau maju, mulailah dari yang kecil-kecil. Jangan pengen melompat, sementara anatomi kakinya tidak terdesain untuk bisa melompat, bisa jadi lompatannya itu berwujud bunuh diri. (af@jkt, 12 Desember 2006)