Harapan dan Ketergantungan

Seorang teman pernah "menasehati" saya, "Rasa kecewa muncul akibat sebuah harapan yang berlebih". Dan kalau saya pikir, pernyataan itu cukup masuk di akal. Sebuah harapanlah yang bila tidak terwujudkan, akan berujung ke sebuah rasa kekecewaan. Dan makin tinggi harapan tersebut, akan makin dalam juga rasa kecewa yang akan diakibatkannya.

Pernyataan tersebut, mengajarkan agar kita bisa mengontrol harapan yang ada di dada. Dengan itu, derajat kekecewaan yang kemungkinan diakibatkannya bisa terkontrol pula. Cobalah berbuat kebaikan, tanpa berharap akan mendapat balasan dari obyek kebaikan anda. Sehingga, tatkala anda tidak mendapatkan balasan kebaikan-pun, anda tidak akan kecewa. Bahkan, tatkala kebaikan anda dibalas dengan air tuba sekalipun, tidak akan membuat anda seperti luka kesiram cuka.

Demikian juga dengan hal-hal yang berhubungan dengan rasa. Cintailah seseorang tanpa harapan berlebih anda akan dicintai sama persis dengan anda mencintainya. Tebarlah rasa sayang, tanpa mengharapkan balasan langsung. Bukankah kita memang diperintahkan untuk sayang-menyayangi, dan bukan sayang-disayangi. :)

Kalau harapan bisa berujung pada kekecewaan, ketergantungan lain lagi. Kalau ketergantungan tak terpenuhi, hidup serasa sudah mau kiamat. Kepala seperti enggan diajak mikir. Dan kadang, langkah apapun rela dijalani demi mewujudkan ketergantungan itu.

Contoh ekstrem mungkin bisa dilihat pada orang-orang yang sudah dalam tingkat ketergantungan pada narkoba. Seperti itulah sebuah ketergantungan. Tidak ada petuah-petuah manjur yang sanggup me-rem keinginannya untuk ngisap. Tidak ada "ancaman" dokter spesialis yang bisa merasuk masuk di akalnya. Yang ada, aku mendapatkannya atau mati di tempat sekarang juga. Mata jadi gelap, pendengaran jadi mendengung, mulut jadi komat-kamit, dan pikiran cenderung lepas kontrol. Itulah salah satu potret nyata sebuah ketergantungan.

Banjir dan potret keegoan
Sejak hari Kamis lalu, Jakarta dan sekitarnya diserang hujan terus-menerus. Selokan mempet, kali meluap, kotoran dan sampah berbaur jadi satu, menghiasi ruang-ruang yang ada di permukaan ibukota. Tidak ada istilah perkantoran elit. Semua diperkosa oleh besarnya kekuatan alam. Label cantik "kawasan segi tiga emas" misalnya, tiada punya nilai jual sama sekali menghadapi murka alam. Gubernur hanya bisa geleng kepala, presiden hanya bisa merenung memikirkan ketidak beradayaannya masing-masing, seakan slogan cantik, "bersama kita bisa", hanya terasa manis tatkala kata-kata itu diucapkan di mulut.

Jakarta tenggelam, diiringi riuh rendah warga kebanyakan yang nyari selamat. Ayam piaraan jadi rela dikorbankan asal jiwa ini bisa selamat dari amukan banjir. Alat elektronik penghias ruang tamu nan sempit hasil cicilan yang sampai saat ini mungkin belum lunas juga, tidak lagi menarik perhatiannya. Semua ditinggalkan, lari tunggang-langgang. Asal jiwa ini bisa selamat. Spontan pikiran jadi bijak, "harta hilang masih bisa dicari, jiwa melayang tak mungkin kembali".

Warga berpunya pun tidak tinggal diam. Sebagian mengungsi ke hotel mencari selamat. Rumah mewah, harus rela dititipkan ke para pembantu dengan pesan manis, "tolong jagain yah!", seakan tidak mau tau, kalau sang pembantu-pun sebetulnya butuh selamat, sama dengan diri mereka sendiri. Sifat keegoan, menggiring jiwa pada sebuah "judgement" secara tak langsung, bahwa "nyawa aku lebih berharga dari nyawa kalian". Padahal sama-sama manusia, butuh sandang, pangan dan papan. Padahal tiada status kaya-miskin, semua pasti butuh kasih-sayang dan ketenangan. Demikian juga rasa aman dari amukan banjir, baik yang berstatus lokal, maupun kiriman dari daerah lain, semua membutuhkannya.

Ketergantungan listrik
Kembali ke topik awal, bahwa banjir kali ini, juga bisa mengingatkan kita pada sebuah ketergantungan, berapapun level dan tingkatannya.
Tatkala permukaan air sudah merambat ke atap-atap rumah di beberapa kawasan, listrik-pun jadi padam, telpon tidak nyambung, jaringan hp tulalit. Belum lagi air susah didapat akibat listrik yang tak kunjung mengalir. Sementara, mau jalan tidak memungkinkan karena jalanan sudah terlanjur diblokir secara alamiah oleh banjir, tanpa melibatkan petugas pengatur lalu lintas yang kadang kelihatan lebih menampakkan wajah berkuasa dibanding tugas yang sebenarnya yakni melindungi masyarakat itu.

Kulit pun sudah mulai terasa gatal-gatal akibat seharian tidak mandi, juga udara lembab karena kucuran hujan secara terus-menerus. Tatkala malam mulai gulita, pilihan mau tak mau jatuh lilin, karena tidak ada alternatif lain sebagai sumber penerangan. Kadang masih sempat menatap lilin sembari nyanyi-nyanyi kecil menghibur diri, "panjang umurnya...panjang umurnya...", sementara yang ulang tahun sebenarnya tidak ada. Yang menjadi panjang adalah penderitaan karena tidak adanya pasokan listrik.

Malam dan hari pertama tanpa pasokan listrik bisa terlewati, akan mulai terasa betapa hidup ini tersiksa tanpa aliran listrik. Dan kemungkinan agak susah membayangkan bila keadaan ini terus-menerus bertahan, seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya. Dunia pasti akan terasa seperti mau kiamat. Karena segala-galanya dalam kehidupan kita sudah terlanjur menyatu erat dengan apa yang namanya tenaga listrik.

Yah..., Hidup ini sendiri sudah terlanjur mempunyai unsur ketergantungan pada listrik. Sehingga kelangkaan akan pasokan listrik sungguh terasa sangat menyiksa. Sekali lagi, karena sudah terbentuk sebuah ketergantungan kepada tenaga listrik tersebut. Padahal seorang teman sempat berkelakar, "Dulu di kampung tidak ada listrik, toh anaknya cakep-cakep, pinter pinter pula".

Sebuah harapan memang bisa mengakibatkan sebuah kekecewaan. Namun ternyata bahwa ketergantungan, justru bisa berujung pada sebuah posisi yang kiri salah kanan meleset, maju kena mundur ambruk. Dan ternyata bahwa hal yang kemarin bukan sebuah ketergantungan, hari ini bisa jadi sudah berwujud sebuah ketergantungan, akibat proses hidup yang kita lalui. Bagaimana dengan anda akan sesuatu? Masih sebatas harapan? Atau sudah ber-metamorfose menjadi ketergantungan? (af@jkt, 4 Pebruari 2007)

HermanLaja.COM