Warga Jakarta dan sekitarnya resah karena aktifitas nyaris lumpuh total yang diakibatkan oleh banjir. Tetangga, seorang pengusaha marah-marah kepada petugas PLN, karena lampu mati 5 hari 5 malam. Operasi pabriknya berhenti total. Bisa ditaksir berapa kerugian yang dideritanya. Sementara penyebab matinya lampu di kawasannya hanya disebabkan hal sepele, yang kalau mau diadakan pembetulan, tidak membutuhkan waktu lebih dari 30 menitan. Sang pengusaha ber-gender wanita yang konon berteman akrab dengan beberapa pejabat puncak negeri ini pun mendatangi kantor PLN.
Pelayanan santai petugas yang melayani, kontan memompa jaringan pembuluhnya hingga darah ngumpul di ubun-ubun. Amarah tidak bisa terbendung lagi, sehingga kata-kata yang tidak me-manusia pun spontan mengucur bak dikomando, "Anjing lho! Sudah melihat warga sengsara diam aja, santai. Pengen minta disogok dulu baru mau bergerak kan? Mau duit berapa sih? Kampret! Mau dikerjain atau lho semua di sini mati berdiri? Bla..bla...bla(sensor)". Sang petugas tidak bisa berkutik sama sekali, selain melapor ke atasannya.
Tak lama kemudian, sang atasan pun datang membawa janji-janji, "Secepatnya kita perbaiki, Bu!". Sang pengusaha masih membentak, "Secepatnya apaan? Janji lagi? Kami sudah bosan dengan janji-janji palsu. Perbaiki sekarang juga, titik!". Ujung-ujungnya, terjadi kesepakatan, malam ini juga dijamin lampu di kawasan sang pengusaha mengoperasikan usahanya akan selesai diperbaiki. Secara terpaksa, urusan uang rokok-pun di-iya-kan sama sang pengusaha.
Akhirnya, beliau pulang masih sambil mencak-mencak tapi korbannya bergeser ke anak buahnya sendiri, "loe duduk di belakang, aku aja yang nyopir. Orang-orang di situ, sama aja kaya' loe, maunya santai, gak ada rasa tanggung jawab." Kalau sudah begini, sang anak buah, hanya bisa diam membisu, tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata.
Kejadian di atas sebenarnya hanya sekelumit adegan penuntutan hak yang sebetulnya bila saja negeri ini sebuah negara maju, bisa jadi merupakan hal yang wajar. Kewajibanku membayar pajak, membayar beban listrik telah aku penuhi, maka wajar kalau aku menuntut hak-ku juga dipenuhi.
Hanya saja, memang rakyat di negeri ini tidak punya power untuk menuntut apa-apa, kecuali segelintir orang. Hak yang tidak terpenuhi dilihat sebagai suatu hal yang wajar, yang tidak perlu dibesar-besarkan. Wong kita sama-sama manusia, punya kelemahan dan kekurangan. Manusia-manusia kita dalam urusan ini termasuk gampang ber-lapang dada. Sikap memaklumi pun lebih gampang tercipta. Negeri ini memang dihuni oleh orang-orang yang "ramah". Bahkan bencana-pun masih bisa dijadikan bahan candaan, sekedar pelipur lara.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kiriman ucapan belasungkawa dari beberapa teman, baik dari dalam, maupun dari luar negeri(hihi..., punya teman di luar negeri aja bangga). Karena berita "tenggelam"nya Jakarta memang sudah menjadi berita dunia. Dan mereka-mereka-pun mungkin secara tidak sengaja melihat hingar-bingar warga ibukota yang diserang banjir di media massa dunia.
Ada teman yang melihat sudut lain potret masyarakat kita dalam menghadapi bencana seperti ini. Gambar anak-anak yang bergembira bermain air di tengah banjir pun tak lupa beliau selipkan. Beliau hanya berkomentar, "lucu yah!". 70% ibukota "tenggelam", wajah-wajah masih bisa bergembira. Saya hanya sempat berguman, bahwa seperti itulah masyarakat kami, tidak terlalu dipusingkan oleh hal-hal "sepele" seperti ini. Mau bergembira, dalam musibah pun kami masih sanggup bergembira.
Tatkala ada teman yang berkomentar seakan-akan menyalahkan pemerintah terkait banjir kali ini, teman lain langsung menimpali, "Jangan cuman bisa menyalahkan. Ini adalah bencana. Dan apa sih kekuatan kita menghadapi bencana yang didatangkan oleh Yang Kuasa? Kita terima saja sebuah kenyataan dengan lapang dada, tanpa banyak protes".
Pikir punya pikir, saya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa kita sudah terbiasa. Dan keterbiasaan akan membentuk jiwa yang tidak care lagi. Kalaupun ada riak-riak di masyarakat, tidak akan kedengaran signifikan lagi. Di satu sisi hal ini positif, kita makin bisa berlapang dada menerima kekurangan "orang lain" . Namun di sisi lain, akan berakibat negatif, hal negatif-pun akan jadi biasa. Makin berkurang rasa "koq bagitu?" terhadap berbagai keganjilan yang terjadi di masyarakat. Semuanya akan kembali menjadi biasa, karena kita jadi terbiasa dengan suatu keadaan.
KKN yang tidak pernah memberikan harapan akan ada perbaikan pun kita jadi terbiasa. Sudah sangat tipis perasaan aneh melihat praktek seperti itu terjadi di seputar kita. Semburan lumpur panas, kurang gizi, flu burung, demam berdarah, kecelakaan kereta api yang sudah menelan banyak korban, semuanya berangsur-angsur serasa akan mem'biasa'. Sama dengan kemacetan lalu lintas di ibukota, kita jadi terbiasa. Padahal semua itu bukan hal yang wajar lagi.
Rasa kekhawatiran akan mendidik kita untuk selalu was-was yang seterusnya mengarah ke pencarian solusi, namun bila suatu hal sudah mem'biasa', rasa was-was itupun akan berangsur hilang. Dan keadaan itu sebetulnya sangat menakutkan. Jangan-jangan besok-besok, kecelakaan jatuhnya pesawat penerbangan-pun akan jadi mem'biasa'. Iiihh...Serem! (Af@jkt, 10 Pebruari 2007)