Mulyana & Harga Diri

Dari sekian berita yang menghiasi media massa tanah air di seputar hari ulang tahun ke 62 Republik ini, ada nama Mulyana W Kusumah. Anggota KPU yang sempat meringkuk di hotel pordeo Salemba karena kasus korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004 serta kasus penyuapan auditor BPK itu dibebaskan secara bersyarat setelah menjalani 2/3 masa hukumannya dan memperoleh remisi hari ulang tahun kemerdekaan RI, selama 3,5 bulan.

Kembali Ngantor di KPU
Sebelum meninggalkan rutan Salemba, beliau sempat mengadakan jumpa pers. "Ke depan ya karena saya masih menjadi anggota KPU, ya saya masih akan kembali ke kantor sampai dilantiknya anggota KPU yang baru." Demikian salah satu ucapannya dalam jumpa pers di halaman rutan Salemba, Sabtu pagi 18 Agustus 2007 tersebut. Alasan utamanya adalah karena belum adanya surat pemberhentian sebagai anggota KPU dari Presiden.


Aspek Yuridis
Berdasarkan pasal 29 ayat 2d UU Nomor 22 tahung 2007, bahwa anggota KPU dapat dihentikan, karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Sementara Mulyana mendapat ancaman hukuman 25 tahun. Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri, Saut Situmorang, di kantor Depdagri Jakarta mengatakan bahwa secara UU, Mulyana dapat dihentikan sebagai anggota KPU. Namun, Saut menambahkan bahwa karena yang mengangkat anggota KPU adalah Presiden, maka pemberhentiannya pun harusnya berdasarkan kepada Keputusan Presiden.

Tidak kurang dari Mensesneg Hatta Rajasa yang berkomentar tidak tahu bisa tidaknya Mulyana aktif kembali menjadi anggota KPU. Bahkan, Andi Mattalatta, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pengganti Hamid Awaluddin, menyatakan tidak tahu menahu soal bisa atau tidaknya Mulyana W Kusuma untuk aktif kembali di KPU.


Alasan Menyelesaikan Laporan
Secara pribadi, saya menganggap bahwa memang sebaiknya Mulyana tidak aktif lagi di KPU. Kalau tidak ada pemberhentian resmi dari Presiden, pensiunan dosen UI itu sendiri yang sepantasnya mengajukan surat pengunduran diri, apapun alasannya. Bagaimanapun, Mulyana sudah dipenjara karena kasus korupsi dan penyuapan. Dan itu dilakukan sebagai anggota KPU. Orang umum sudah beranggapan, Mulyana korupsi di KPU. Dan secara moral, sungguh malu melakukan korupsi di suatu instansi kemudian dipenjara, lalu setelah bebas kembali lagi mau aktif di instansi yang sama.

Konon Mulyana memberikan alasan akan menyelesaikan laporan dana kampanye Pemilu 2004 yang lalu. Alasan ini, sungguh menggelitik di relung-relung hati ini. Laporan dana kampanye Pemilu 2004 belum selesai? Dan pekerjaan itu harus menunggu Mulyana baru bisa jalan? Kalau jawabanya iya, bisa menandakan bahwa instansi KPU yang ditunjuk langsung oleh Presiden tersebut, dari segi organisasi sangat amatir. Lalu organisasi amatir yang akan dipercayakan untuk menangani event seakbar pemilu? Saya benar-benar jadi speechless.

Bersalah Atau Tidak, Demi Harga Diri harus Mundur
Mulyana bisa berkilah, ini hanya kesalahan prosedur, sungguh tidak sebanding dengan pengabdian yang telah kuberikan sebagai anggota KPU untuk menyukseskan pemilu. Dia bisa saja merasa tidak bersalah apa-apa. Dia pun bisa merasa pengabdiannya tidak bisa diukur dengan lembaran rupiah. Bahkan bisa mengaku sebagai pahlawan demokrasi.

Apapun alasannya, seberapa besar pengabdiannya kepada negara dalam hal penegakan demokrasi, atau setinggi apapun derajat kepahlawanannya, Mulyana tetap mantan narapidana kasus korupsi. Beliau, secara hukum tetap seorang koruptor. Kalaupun kenyataannya beliau tidak mengadakan korupsi, atau putih bersih dari setitik noda praktek korupsi sekalipun, Mulyana memang lebih baik mengundurkan diri. Toh Instansi-nya sudah tidak bisa melindunginya. Dijebloskan ke penjara sama saja bahwa negara sudah tidak menghargai hasil jerih payahnya melebihi takaran kesalahannya. Artinya, buat apa tetap tinggal di suatu tempat, kalo hasil kerjanya sudah tidak ter-apresiasi.

Kalau saja Mulyana merasa diri memang melakukan praktek korupsi, tentu akan lebih parah kalau masih mampu menginjak KPU, yang mana orang-orangnya adalah rekan seperjuangannya sendiri. Kalau itu masih dipaksakan, Mulyana sudah mengorbankan segala harga dirinya untuk "sekedar" kembali duduk di jabatan yang diangkat langsung oleh presiden itu. Toh masyarakat sudah mendapatkan bukti legal kalau dia adalah seorang koruptor. Jidatnya sudah terlanjur ditempeli label koruptor, terlepas itu asli atau palsu. Tentu lebih baik tidak menampakkan muka di depan umum. Itu kalau memang masih punya rasa malu, terlebih beliau adalah pensiunan pendidik.

Intinya, meniru sepotong bunyi iklan minuman kemasan, "Apapun makanannya, minumnya tetap teh botol sosro", apapun wujud aslinya, memang korupsi atau tidak, dengan sudah menjalani masa bersemayam di balik jeruji besi, Mulyana sebaiknya mengundurkan diri dari KPU. Minimal di situ harga diri dipertaruhkan. (@ef, 20070822)

HermanLaja.COM