Dari Donald, TKW & Emosi Kita
Minggu-minggu terakhir, berita yang berhubungan dengan Malaysia lagi menghiasi media nasional. Donald Pieter Kolopita, Ketua Dewan Wasit Karate Indonesia, dianiaya oleh 4 orang polisi Malaysia. Dari media elektronik hingga harian surat kabar mengangkat kejadian ini di kolom-kolom utama, seakan mengalahkan ekspose hingar-bingar peringatan 50 tahun negeri jiran tersebut.
Indonesia protes, Malaysia adem ayem, santai menghadapi itu semua. Bahkan ucapan permintaan maaf pun sangat susah keluar dari negara serumpun yang memang sudah selangkah dua langkah lebih maju dari Indonesia. Dengan peristiwa ini, masyarakat marah seakan harga dirinya sebagai sebuah bangsa "besar" terinjak-injak. Padahal perlakuan seperti ini sebetulnya bukan barang baru dialami orang "indon" di negeri bekas jajahan Inggeris itu. Hanya saja, kali ini, wakil negara yang mendapatkan perlakuan serupa.
Telinga sudah garing kepanasan mendengar TKW-TKW kita dianiaya. TKI kita pun mendapatkan perlakuan serupa, baik itu yang legal, apalagi yang ilegal. Dari hari ke hari, ada saja berita mengiris hati berhubungan dengan sang pahlawan devisa yang lagi mengais rezeki di negeri itu. Tapi akhirnya akan hilang dengan sendirinya tanpa ada efek positif menuju berbaikan nasib mereka terutama di masa yang akan datang.
Kembali Ke Derajat Martabat
Di zaman penjajahan, Helfferich, seorang berkebangsaan Belanda pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah eine Nation von kuli und kuli unter den Nationen (= Bangsa kuli dibawah bangsa-bangsa lain). Bisa jadi, Malaysia sekarang beranggapan seperti itu terhadap bangsa ini. Karena memang kecenderungan putra bangsa yang mencari seuap nasi di negeri Abdullah Badawi itu ber-level kuli. Kita mau tak mau harus mengakui itu. Dan menjadi kuli serta diperlakukan seperti binatang di sana, masih lebih mereka pilih ketimbang kembali ke negeri nusantara ini menjadi pengangguran. Akibatnya, apapun perlakuan sang majikan, hanya bisa dilawan dengan perasaan gondok, lalu ditelan tanpa bisa terlampiaskan.
Saya menganggap, bahwa cara memandang sebuah golongan kepada golongan lain, akan berbeda sesuai tingkatan martabat yang dipunyai masing-masing pihak. Ini hukum alam, dan mustahil akan sirna secara total hanya dengan modal "peri kemanusiaan", "serumpun" atau apapun labelnya. Apalagi di bawah alam yang di-drive oleh aliran kapitalisme. Terutama dalam format antar kelompok komunitas besar seperti antar bangsa dan negara.
Jangankan kita yang numpang hidup di negeri mereka, sebaliknya pun sedikit banyak kenyataan tersebut berlaku. Lihatlah di pabrik-pabrik milik investor asing di negeri ini. Mayoritas, warga kita tetap hanya jadi kuli tak berdaya. Sumber daya alam yang mereka isap adalah milik negeri ini sekalipun, tetap sama, setali tiga uang. Kita tetap jadi golongan kuli yang harus siap dibentak-bentak, menuruti kehendak sang majikan. Kalau pun ada sebagian anak bangsa yang duduk di posisi diuntungkan, tak lebih sebuah umpan untuk meredam emosi pemilik tanah. Dari segi reward pun diskriminasi tetap berlaku, sepanjang posisi martabat kita masih sebatas golongan kuli. Kita dipandang sebelah mata. Dan konyolnya, kita hanya bisa menerima itu semua tanpa bisa berbuat apa-apa.
Hampir tidak ada artinya slogan-slogan seperti "ganyang malaysia". Kegetolan pejabat negara untuk menuntut pemerintah Malaysia untuk meminta maaf, juga bukan solusi yang bisa diharapkan. Apalagi demo massa ke kedubes Malaysia membentangkan daftar nama-nama TKW dan TKI yang teraniaya. Bukan berarti tidak ada artinya sama sekali, namun untuk acuan jangka panjang, efeknya hampir tidak ada. Penyaluran emosi seperti itu, paling hanya berdampak sesaat. Minimal pemerintah Malaysia akan sedikit membuka mata, kalau masyarakat kita sakit hati atas perlakuan mereka. Dan bila waktu berlalu, hal yang sama akan kembali terulang.
Dari sudut religi, bukankah kita juga sudah diajarkan bahwa tidak ada perubahan nasib suatu kaum kecuali mereka yang merubahnya sendiri? Lalu apakah kita tetap bisa berharap negeri tetangga akan menghargai kita hanya atas dasar "kasihan", "karena negeri serumpun"? Lalu kenapa kita lebih cenderung berusaha mengubah nasib sendiri oleh orang lain? Iyah...., kita yang paling memungkinkan mengubah nasib sendiri, dan bukan orang lain. Demikian juga masalah martabat bangsa, kita yang harus mengubahnya dan bukan negara lain yang akan merubah cara pandang mereka terhadap martabat kita sendiri, tanpa ada perubahan di diri kita sendiri. Lebih baik jangan berharap.
Kunci Meningkatkan Martabat
Saya memandang 4 unsur penting untuk bisa membangun martabat diri sendiri entah sebagai individu maupun sebagai kelompok termasuk berbangsa dan bernegara. Unsur tersebut adalah 4K, Kaya, Kuat, Kinerja dan Kreasi. Unsur-unsur ini sebetulnya saling menunjang satu sama lain. Dengan perbaikan unsur-unsur tersebut, tanpa berpromosi masalah martabat, secara otomatis akan akan terdongkrak di mata orang lain.
- Kaya -
Di Masyarakat Jepang, ada kecenderungan memandang rendah martabat negara lain, terutama negara-negara Asia Tenggara. Satu-satunya etnik yang mereka segani adalah mereka yang berasal dari negeri Paman Sam. Mereka menganggap martabatnya lebih tinggi dibanding negara lain, salah satunya karena merasa lebih kaya. Adapun terhadap Amerika, mereka masih tau diri untuk memposisikan diri di Martabat lebih tinggi. Jadi, menjadilah negara kaya, dan negara lain akan memandang anda sebagai warga bermartabat tinggi.
Dalam kehidupan individu sehari-hari pun sama. Sedikit banyak cara orang memandang anda akan berbeda bila anda termasuk golongan miskin atau golongan kaya. Itupun berlaku untuk format antar kelompok ataupun bangsa. Pihak lain akan memberikan penilaian martabat, salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan finansial yang bersangkutan.
- Kuat -
Walaupun Rusia tidak termasuk negara kaya seperti Amerika, namun kekuatan militernya memberikan nilai plus terhadap martabat negaranya. Sehingga pihak luar tetap menaruh segan. Apalagi Amerika yang memang sudah "berhasil" mendominasi semua lini termasuk kekuatan militer. Semua orang pasti takut, dan itu yang menyebabkan mereka kelihatan bermartabat. Padahal dari segi moral, mungkin saja Amerika menjadi negara paling bejat sejagat.
Jawara di kampung, hampir pasti mendapatkan tempat duduk paling depan dalam sebuah acara masyarakat. Itu karena kekuatannya mendongkrak martabatnya beberapa derajat.
- Kinerja -
Keuletan bekerja masyarakat Jepang, sudah bukan cerita dongeng lagi. Seluruh masyarakat dunia pasti memakluminya. Dengan keuletan itu, sedikit banyak membuat orang lain lebih respect kepada mereka. Belum lagi dengan keuletan itu akan membuahkan unsur "kaya" yang juga merupakan salah satu unsur meningkatkan martabat.
Dari sudut pandang kehidupan secara individu pun sama. Seorang atasan tentu akan lebih menghargai bawahan yang berkinerja baik dibanding yang ogah-ogahan. Tingkat ke-respect-an seseorang terhadap orang lain salah satunya bisa dikarenakan tingkat kerajinan dan kinerja yang bersangkutan.
- Kreatif -
Korea Selatan sebagai negara yang sangat pesat perkembangan industrinya, bisa merupakan bukti nyata kreatifitas sebagai barometer derajat martabat. Dulu, semasa Jepang menjadi single fighter dalam bidang teknologi tepat guna di Asia Timur, cenderung memandang sebelah mata terhadap Korea Selatan. Namun setelah industri Korsel berkembang pesat, dan bahkan Jepang sendiri dah mulai merasa tersaingi, cara pandang itu berubah. Kini, Jepang memandang Korsel sebagai saingan, yang bahkan sudah mulai ketakutan hampir bisa mengejar.
Di Malaysia, sesama "Indon" pun tidak serta merta sama perlakuannya. Bahkan banyak juga orang Indonesia yang justru sangat dihormati. Tak terhitung ahli-ahli tamatan S3 luar negeri yang menjadi tenaga pengajar Universitas di Malaysia. Perlakuan terhadap mereka tentu tidak sama dengan TKI-TKI yang hanya bermodalkan tenaga tersebut. Mereka berotak brilliant, sehingga walaupun di tanah air merasa tidak dibutuhkan, negeri jiran tersebut sangat membutuhkan kreasi-kreasi mereka mencetak sumber daya manusia unggul. Karena mereka punya modal berhubungan kreasi keilmuan, tentu martabat mereka akan jauh berbeda.
Beberapa unsur tersebut di atas memang saling kait mengkait, yang peningkatan di salah satu unsur, akan berpengaruh pada peningkatan di unsur lain. Namun intinya, agar tanpa diminta sekalipun, negara tetangga akan spontan minta maaf bila bersalah, maka tingkatkanlah martabat bangsa ini, atau minimal sejajar dengan mereka. Jangan cuman melawan itu semua dengan emosi, yang akhirnya tidak akan berdampak signifikan secara jangka panjang. Pembentuk martabat sebuah negara, berasal dari individu-individu warga negara, jadi mulailah dari diri sendiri meningkatkan potensi masing-masing, sehingga kita tidak perlu lagi khawatir tidak dihargai oleh bangsa lain. (@ef, 20080904)