Setan-Setan Ramadhan

Jalanan bisa jadi tempat bermunculannya para setan. Mereka tidak mengenal bulan puasa, di mana setan-setan seharusnya sedang terbelenggu. Jalanan masih saja jadi ruang empuk setan berkeliaran. Terlebih menjelang Magrib.

Seharian menahan lapar dan dahaga, menjelang pulang ke rumah, yang waktu berbuka tinggal dalam hitungan detik, di jalanan itu, kesabaran terkapar. Betapa besarnya daya godaan setan jalanan menjelang magrib datang. Yang satu menyerempetkan motornya seakan tidak kenal mati tersenggol. Dalam hati terbersit rasa bangga, rasa ke-jawara-an dalam bermotor. Pengemudi mobil yang terpaksa me-rem mendadak hanya bisa berucap, "kampret...., dah mo mati kalee yah". Emosi menyapu bersih kesabaran dalam seharian berpuasa.

Sang angkot datang nyelonong melaju di jalur berlawanan di sebelah kanan. Penumpang hanya tersenyum kecil, pengen menepuk bahu sang sopir angkot tanda kesalutan. Lupa kalau dengan itu, nyawa mereka terancam. Lalu sang sopir, dengan gagah berani memaksakan moncong angkotnya myelinap masuk di sela deretan mobil yang dari tadi sabar ngantri, yang lagi khawatir jam berbuka kemungkinan tidak terburu lagi.

Kontan, setan di seluruh tubuh bagai dibangunkan serentak. Bulu kuduk berdiri menahan amarah. "Emang loe kira kami tidak pengen cepet nyampe?". Tombol klakson diteken tiada henti tanda ketidak setujuan akan ulah sang sopir angkot. Sementara sang "empunya jalanan", tanpa perasaan bersalah sama sekali, tetap sedikit demi sedikit maju pelan-pelan dan akhirnya berhasil masuk di deretan antrian. Bunyi klakson yang meraung-raung, dianggapnya alunan musik dangdut, yang justru direspon dengan goyangan tanda kemenangan. Masa bodo dengan orang-orang sekeliling..., yang penting bisa mengejar setoran, demi sesuap nasi anak-bini di rumah.

Iyah..., pemandangan itu justru kelihatan lebih sering terjadi di bulan ramadhan seperti ini, Terutama menjelang saat-saat berbuka puasa, sementara kendaraan yang dinaiki masih berkutat dengan kemacetan di tengah jalan. Kita masih berpuasa sebatas menahan lapar dan dahaga. Emosi kita masih gampang tersulut untuk urusan pengen cepat menikmati berbuka puasa di rumah.

Untuk urusan tanah, di salah satu daerah di negeri ini, antara aparat dan penduduk saling beradu mulut, yang bahkan sampai beradu otot. Wajah mereka sangar, layaknya wajah setan2 yang siap melemparkan amarah. Tidak ada istilah "lagi menahan", puasa lahir dan bathin.

Di Makassar sana, sekumpulan mahasiswa sedang beraksi menghancurkan kaca-kaca kampusnya sendiri. Meja belajar, tak luput jadi sasaran, diubah wujud jadi abu. Emosi di dada, tidak sanggup diredam hanya dengan berpuasa. Dengan kata lain, makna berpuasa yang sesungguhnya tidak meresap ke dalam hati nuraninya. Akibatnya, kebijakan sang rektor yang dianggap salah, kaca yang tidak berdosa yang jadi korban. Andai saja mereka bisa berbicara, secara serentak akan berucap, "wahai jiwa-jiwa yang sedang berpuasa..., janganlah kalian menghancurkan kami, yang tidak berdosa ini, karena justru kerugian kolektif yang anda akan terima. Kami tidak berdosa sama sekali".

Ternyata, di Jakarta pun ada juga tawuran antar mahasiswa. Bahkan penyakit lama, tawuran antar pelajar, kembali terjadi. Justru semuanya ada di saat bulan ramadhan, bulan penuh magfirah ini.

Para pejabat negara, pun tidak lepas dari ganasnya rayuan setan di bulan Ramadhan. Irawady Joenoes, anggota KY ternyata tertangkap basah mau memperkaya diri sendiri dari uang rakyat. Pun itu di bulan ramadhan. Apalagi menjelang minggu2 terakhir bulan puasa, kadang banyak oknum pemerintah yang mencari jatah kemana-mana. Tak peduli, yang diperas akan bangkrut, atau minimal tidak jadi mudik ke kampung halaman. Di awal Ramadhan, ada Nurdin Halid, yang harus dijebloskan ke penjara untuk yang kedua kalinya, karena keserakahan akan harta benda, sehingga yang bukan haknya pun diembat.

Bulan puasa adalah bulan kedamaian. Seharusnya hidup ini dipenuhi oleh kelemah-lembutan, dan bukan keserakahan dan amukan emosi. Namun kenyataan di lapangan, justru memperlihatkan fenomena sebaliknya. Ataukah setan memang sengaja mengamuk menjelang berbuka puasa, setelah seharian terbelenggu? Wallahu alam.

Pemandangan itu baru terlihat di depan mata saya beberapa hari yang lalu. Di jalur lain di jalan raya, ada sebuah mobil sedan menabrak X-trail yang lagi berjalan pelan-pelan di depannya karena sedang mengantri di pintu tol. Tabrakan memang tidak begitu keras, namun kalau melihat kelabilan emosi manusia di jalanan termasuk di bulan Ramadhan ini, minimal perang mulut sudah bisa dibayangkan akan terjadi.

Pengemudi depan, turun pelan-pelan, yang mau tak mau diikut pengemudi belakang. Dan semua mata dah tertuju ke sana, membayangkan minimal adu mulut akan dimulai. Namun ternyata malaikat masih lebih berpihak kepada mereka. Pengemudi depan justru tersenyum mendekati pengemudi belakang sambil sesekali melihat ke arah bagian yang kena tabrak. Senyuman itu disambut oleh pengemudi belakang. Sehingga yang ada, mereka justru bersalaman. Dari jauh aku hanya bisa menduga percakapan yang terjadi, "lain kali, kita sama-sama hati-hati dalam mengemudi yah!". Betapa indahnya. (af@jkt, 8 Oktober 2007)

HermanLaja.COM