Malaysia di mata rakyat republik ini sudah kelihatan bak seorang kerabat yang mulai belagu hanya dikarenakan perbedaan nasib dan suratan takdir. Mereka cenderung lebih punya kebebasan finansial, sementara kita masih harus rela menjadi babu untuk sekedar bisa bertahan hidup.
Ada TKI ilegal yang dikejar sana-sini bak anggota jaringan terorisme Azahari, disiksa tidak dengan semestinya. Padahal, mereka pun berkontribusi besar dalam pembangunan ekonomi negeri itu. Kalaupun ada sisi negatifnya, toh begitulah kehidupan, jangan berharap dapat untung 100% persen dari sesuatu, tanpa ada sisi negatifnya, sekecil apapun itu. Akibatnya, pemerintah Indonesia pun turun tangan, memulangkan sebagian kecil TKI-TKI ilegal tersebut. Sayang...., tidak ada pejabat yang istri atau sanak keluarga dekatnya jadi TKI ilegal ke Malaysia, sehingga gaungnya pun sudah tidak sesuai dengan porsinya.
Yang legal pun, bukan tidak punya masalah sama oknum di sana, termasuk TKW. Sudah terlampau banyak berita mengenai TKW yang cacat fisik atau bahkan meninggal dunia karena disiksa majikan di negerinya Siti Nur Halizah itu. Konon ada 3 jenis penganiayaan oleh sang majikan, sesuai dengan ras mereka majikan. Suku India, cenderung punya catatan hitam memperkosa sang TKW yang jadi pembantu di rumahnya. Bila sang majikan adalah ras Chinese, kekerasan yang sering muncul adalah penganiayaan fisik, sampai tidak memberi makan selayaknya. Lain lagi kalau yang menjadi tuan rumah adalah rumpun Melayu. Kekerasan mereka lebih kepada tidak memberinya upah sesuai dengan hasil kerja sang TKW-TKW tersebut.
Penganiayaan oleh oknum pemerintah juga banyak dialami oleh orang indon di negeri yang sebagian besar raja-rajanya adalah keturunan Bugis Makassar itu. Rata-rata semuanya dilatar belakangi oleh sebuah alasan memburu TKI ilegal. Kasus Donald Pieter Kolopita, Ketua Dewan Wasit Karate Indonesia adalah contohnya. Terakhir, Muslianah Nurdin, seorang istri Diplomat RI ditangkap oleh rela, pasukan relawan negeri jiran itu. Beliau digiring relawan Malaysia khusus imigran gelap itu dari sebuah pusat perbelanjaan. Kedua kasus ini langsung mencuat ke permukaan, karena yang kena getahnya adalah seorang wakil negeri ini. Kasus lain, termasuk apartemen mahasiswa yang diobok-obok dengan alasan mencari imigran gelap, bukan lagi hal yang sangat aneh.
Kasus Ambalat beberapa tahun yang lalu jadi contoh nyata keangkuhan mereka. Merasa diri sudah setingkat dua tingkat lebih tinggi dari negeri ini. Akibatnya, sudah mampu menampakkan ke-latah-annya menghadapi bangsa serumpun, Indonesia.
Di bidang Teknologi dan keilmuan pun sama. Ada kasus batik yang dipatenkan oleh ilmuwan mereka. Padahal anjing pun sudah tau dari dulu kalo batik itu asli turun temurun dari tanah Jawa. Protespun hanya direspon dengan diam, seakan-akan dengan sinis berucap, "Kamu masih terlalu bodoh untuk sekedar mematenkan batik, jadinya kami ambil alih. Siapa yang salah?"
Tatkala Raihan, menghiasi hari-hari Ramadhan di layar kaca Indonesia, tatkala Siti Nurhalizah meraup banyak rupiah dari hasil penjualan lagu2 merdunya di negeri ini, "Rasa Sayange" yang konon asli lagu daerah Ambon manise sana, juga tak luput mereka klaim budaya milik sendiri. Alhasil, lagu itu sukses jadi tema song dalam ajang promosi keparawisataan negeri itu. Dalihnya brilliant bin ampuh, "Silakan buktikan kalo itu bukan milik bersama".
Memang banyak tingkah yang menandakan keangkuhan yang Malaysia perlakukan terhadap Indonesia. Bahkan hampir di semua sudut kehidupan. Dan kita yang memang secara strata sosial di bawah mereka, hanya bisa ngomel minta belas kasihan, merasa sebagai golongan yang tertindas. Apakah usaha kita itu akan berhasil? Hampir pasti tidak. Kita tidak mungkin bisa dikasihani hanya dengan modal "serumpun". Dan belas kasihan tidak akan mampu memecahkan masalah. Yang perlu adalah, semangat untuk bisa lebih tinggi dari mereka. Dengan itu, secara otomatis pelecehan-pelecehan yang ada akan berkurang drastis. Tidak percaya? Silakan buktikan saja dulu. (af@jkt, 9 Oktober 2007)
Artikel terkait: Martabat & Pelecehan