Buruk Rupa, Cermin Ditonjok

"Kita bukan bermaksud mencari siapa yang salah. Yang utama sekarang adalah apa solusi dari permasalahan yang dihadapi." Sebuah ungkapan yang sering saya dengar tatkala berdiskusi dengan seorang teman tentang suatu permasalahan yang dihadapi. Pernyataan itu sangat tepat buat mereka yang berpikiran maju. Walau kadang, untuk menggali sebuah solusi jitu, mau tak mau harus mengangkat siapa yang salah dan apa penyebab kesalahannya. Dan hal ini kadang bak rel kereta api panjang, yang menghubungkan satu stasiun dengan stasiun lain, sambung menyambung. Sehingga untuk mencari titik awal sebuah kesalahan, kadang sangat melelahkan. Tapi itu tetap penting dilakukan, karena meng-cover sebuah permasalahan dengan jalan pintas, cenderung hanya berdampak sesaat, sehingga efek negatif yang ditimbulkan oleh kesalahan dimaksud, tetap akan berulang walau mungkin dalam wujud lain.

Namun, tabiat masyarakat kita, praktis lebih suka menempuh jalan pintas, tanpa niat mencari solusi dengan membenahi hal yang menjadi akar dari permasalahan yang ada. Tatkala menghadapi sebuah masalah, yang sibuk dipikirkan adalah siapa yang bisa dijadikan kambing hitam atas masalah tersebut. Atau kalau masih bisa, berusaha berkelik dengan kata-kata, "Mungkin sudah dari sononya", "Ini sebuah bencana", atau ungkapan-ungkapan lain yang lebih bersifat sebuah kepasrahan atau pembenaran.

Bencana Lumpur Lapindo misalnya, akhirnya 'sukses' ditutupi dengan dalil itu sebuah bencana alam. Kita yang berbuat khilaf, jalan keluarnya, alam yang disalahkan. Karena political power pemilik di pemerintahan kuat, negara yang justru berkorban banyak untuk menanganinya. Sisi hukum yang semestinya ditegakkan pun jadi kabur. Intinya, yang salah dalam kasus ini adalah alam yang tega menyemburkan bencananya. Pelaku industri yang sudah berbuat asal hantam demi meningkatkan profit, yang kemungkinan sudah tidak menerapkan prosedur yang semestinya, masih tetap bisa tidur nyenyak, sementara masyarakat setempat tidak bisa tidur berdesak-desakan di tenda-tenda penampungan.

Larinya para investor asing ke negara tetangga, pun bisa menjadi salah satu cermin bahwa kita memang terlampau lelet untuk sedikit berfikir maju. Kita sendiri yang membuat mereka lari. Setelah itu, kembali menyusun anggaran yang tidak sedikit, untuk ber-promosi kembali dengan harapan para investor akan berbondong-bondong menanamkan modalnya di negeri yang katanya kaya raya ini. Padahal kalau mau jujur, di dalam promosi itu terkadang ada unsur penipuan. Yang penting, kalian datang dulu ber-invest. Padahal iklim investasi yang paling diharapkan para investor kurang mendapatkan perhatian.


Larangan Terbang Maskapai Nasional Oleh UE
Dalam dokumen Delegation of the European Commission tertanggal 16 Juli 2007 yang bersubyek "Memorandum on Update of the Community List of Air Carries on Which the European has Imposed an Operating Ban", Indonesia termasuk dalam Community List di UE. Iyah..., Maskapai nasional, dilarang terbang di bumi Eropa.

Pemerintah jadi kegerahan dibuatnya. Menyalahkan sang pembuat dokumen yang katanya memutuskan secara sepihak. Bukannya melihat apa standar dari keputusan itu. Padahal kalau dilihat, sepertinya maskapai penerbangan kita memang termasuk deretan penerbangan paling tidak safety. Hanya saja, di dalam negeri, hal tersebut sudah tidak terlalu kentara dikarenakan sudah membiasa. Kalau begitu, bukankah pembuat keputusan itu jauh lebih manusiawi dari instansi yang harusnya mengurusi masalah transportasi kita? Bahkan konon Directorate General of Transport and Energy di European Commission, sudah beberapa kali menghubungi pemerintah Indonesia untuk memberikan fakta bantahan atas 'tuduhan' mereka, tapi tidak digubris. Jadi siapa yang salah?

Lalu bagaimana respon pemerintah Indonesia? Jusman Syafii Djamal, sang Menteri Perhubungan mengatakan akan mengupayakan dialog agar larangan terbang Uni Eropa dicabut. Namun yang aneh, beliau menambahkan bahwa jika itu gagal, pemerintah mengancam bakal melarang balik Uni Eropa terbang. Sepertinya kita sudah terlanjur terbiasa menyelesaikan masalah bukan dengan hukum, melainkan kekuatan fisik atau kong kalikong. Bukankah kriteria yang mereka pakai untuk pe-label-an itu sudah baku? Kalau begitu, itulah dasar hukumnya. Kalau mau layak terbang, ikuti standar safety yang mereka jadikan dasar. Apakah kita sanggup melarang maskapai mereka terbang, sementara mereka memang layak terbang? Tidak mungkin dan seperti kata Agung Laksono, langkah itu sangat kekanak-kanakan.

Bahkan rencana kunjungan SBY ke Eropa ditunda gara-gara masalah pelarangan terbang itu. Terkait kunjungan yang tertunda ini, Dino Patti Djalal, juru bicara Kepresidenan mengungkapkan bahwa kita bisa merencanakan kembali perjalanan ke Eropa yang tertunda, kalau airline ban carrier sudah diangkat. Sekali lagi bukannya kita melakukan pembenahan, agar maskapai kita layak terbang, kita malah mengancam UE terhadap kasus pem-ban-an ini.

Kita kadang sibuk melimpahkan kesalahan pada orang lain. Itu sepertinya sudah men-darah-daging dalam kehidupan masyarakat di negeri ini. Wong pemerintahnya saja seperti itu. Sudah jelas-jelas kesalahan ada sama kita, malah menempuh jalan yang justru akan menimbulkan masalah baru. Ibarat lagi berhias di depan cermin, tampang yang penuh bopeng, malah cermin yang kita hancurkan. Tidak bisa menerima kesalahan sendiri, tapi tidak memperbaikinya.

HermanLaja.COM