Judul di atas bukanlah ajakan untuk nonton acara dangdut di Televisi Nasional yang makin marak saat ini. Pun bukan potongan syair lagu dangdut yang dibawakan dengan suara kurang mendukung oleh seorang Titi Kamal dalam film Mendadak Dangdut. Melainkan ajakan memelas seorang anak kecil bernama Farhan.
Yah, saya dibuat terkejut tatkala Farhan merengek minta diantar ke pesta dangdutan FBR(Form Betawi Rembug) tak begitu jauh dari rumah. "Nonton dangdut dong pa!". Padahal saya yakin, dia belum tau persis apa yang akan ditonton.
"Kenapa koq mendadak dangdut kek Titi Kamal sih", pikirku dalam hati. Dan usut punya usut, sepertinya Farhan terpengaruh sama teman-temannya anak tetangga yang heboh berbondong-bondong sama keluarga-nya pergi nonton dandutan. Padahal, tau sendiri, pesta dangdut seperti itu sangat tidak pantas ditonton oleh seorang anak kecil. Pakaian yang serba minim. Goyangan yang jauh lebih hot dari goyang ngebor-nya Inul Daratista, serta ditambah adegan sang penyanyi berpenampilan seronok dikerubuni cowok-cowok yang seakan sudah fly dengan gepokan lembar se-ceng di tangan nyawer, pernah membuatku merasa geli menyaksikannya.
Berbagai cara saya tempuh untuk sekedar mengelabui keinginan Farhan, tidak membuahkan hasil apa-apa. Akhirnya saya menyerah. "Panggil kak Intan, biar ada yang nemanin!", ucapku dengan wajah cemberut. Ternyata si Intan, yang mengasuh Farhan pun sepertinya memang berniat untuk pergi nonton. Kukeluarkan motor bebek dari garasi, lalu membonceng mereka berdua menuju tempat sang pesta digelar.
Jalanan sudah penuh sesak oleh pejalan kaki, motor hingga mobil-mobil yang mau lewat. Terlihat jelas, betapa masyarakat kampung yang masih mayoritas betawi ini begitu bersemangat menyambutnya. Pun bisa berarti potret kehidupan ril bahwa mereka memang haus akan sebuah hiburan. Abang-none, nyak-babe, ngkong-bocah tumpah ruah di jalanan.
Farhan dan Intan saya drop, lalu pulang ke rumah sendirian. Namun baru beberapa menit saya baring-baring di kamar, ada miscall masuk di Handphone saya, dari si Intan. Saya telpon balik, ternyata Farhan sudah tidak betah, pengen pulang.
Sambil menggerutu, saya menancap gas motor bebek menjemput mereka. Dari kejauhan sudah kelihatan Farhan dengan topeng karet di tangan bersama Intan. Ternyata Farhan jajan, namun yang dibeli bukanlah jajanan makanan, melainkan sebuah topeng yang entah kapan mau digunakan. Tatkala saya tanya kenapa cepat pulang, Farhan hanya bisa terdiam.
Sesampai dirumah, saya ulangi pertanyaanku,"Kenapa cepat pulang?".
Dia hanya berujar singkat, "males...".
"Nonton gak dangdutnya?", selidikku bak seorang interogator.
"Nggak", jawabnya tanpa ekspresi.
"Kenapa?"
"Berisik, tenggorokanku jadi sakit"
"Tenggorokan? Apa hubungannya? Emang Farhan ikutan nyanyi sampe tenggorokannya sakit?", Aku mengajukan pertanyaan beruntun.
"Gak", sahutnya sambil memilin-milin topeng karet yang dia beli.
"Lalu kenapa tenggorokan Farhan yang sakit?"
"Berisik. Lagunya berisik. Bunyi gitarnya berisik"
Saya masih tidak tau hubungannya, kenapa lagu yang berisik, lalu tenggorokan pendengarnya yang sakit. Yang pasti, semakin ketahuan kalau Farhan jadi ikutan latah pengen nonton dangdutan hanya karena pengaruh teman. Buktinya, di sana dia bukannya nonton, malah penjual mainan yang ikut berharap kucuran rezeki dari sebuah pesta dangdutan itu yang menarik perhatiannya. Namun dalam hati sedikit merasa gembira juga, ketauan bahwa ingin perginya bukan karena memang sudah tergila-gila sama pesta dangdutan.
Jadi, rengekan si Farhan semestinya bukan,"yuk, nonton dangdutan yuk", melainkan,"beli mainan di lokasi pesta dandutan yuk". Kalau dari awal permintaannya itu, saya mungkin tidak sengotot itu bertahan. Artinya, lingkungan memang sangat berpengaruh sama keinginan seseorang akan sesuatu, apalagi anak kecil yang masih sangat polos. Makanya para bapak, waspadalah....! (AF@Jkt, 11 Januari 2008)