Investasi, Tanggungjawab Bersama

Akhir bulan lalu, saya ikut sebagai anggota Tim Penasehat sebuah perusahaan yang mau investasi di Selayar. Sebuah rencana investasi yg bernilai 500-an kali PAD daerah ini. Semua demi sebuah niat utama nan suci, meloloskan rencana investasi ini, dengan sebuah harapan besar peningkatan taraf hidup masyarakat manakala investasi ini terealisasi.

Sebuah perjalanan yang sungguh melelahkan, dengan misi memberikan pandangan kepada masyarakat dan pemerintah daerah serta jajarannya akan nilai positif sebagai efek dari investasi ini sendiri.

Tanggungjawab tim hampir tidak ada, karena memang hanya sebagai penasehat. Proyek berjalan mulus sampai pada tingkatan realisasi nyata adalah urusan belakangan. Yang pasti, niat baik ini harus didukung, demikian seluruh anggota tim yang diketuai oleh Prof. Dr. H. M. Askin, SH ini berpendapat.

Rapat dengan jajaran pemerintah daerah pun dilaksanakan. Dan benar, banyak sekali suara-suara bernada sinis yg kedengaran. Kenapa tidak dari investasi berskala kecil saja? Jangan-jangan, ini semuapun hanyalah janji-janji manis yang sangat jauh dari unsur aktualisasi nyata? Pertanyaan senada cenderung mendominasi kritikan-kritikan yg ada.

Kritikan maupun saran-saran ini memang banyak sisi positifnya, minimal akan jadi cambuk buat investor untuk lebih berkonsentrasi untuk mewujudkannya. Apalagi itu datangnya dari masyarakat awam yang tidak mengerti masalah, tapi sudah pernah berharaf pada sebuah proyek serupa tapi sampai sekarang tanpa wujud nyata.

Masalahnya akan lain bila pertanyaan ini terlontar dari aparat pemerintah dan jajarannya. Seakan tidak pernah bercermin, dan dengan lihainya melempar tanggungjawab kepada mereka yang seharusnya tidak punya tanggungjawab langsung secara hukum sekalipun.

Kegagalan terhadap suatu usaha, jangan sampai membuat kita anti terhadap berusaha itu sendiri. Karena kalau kita sudah berhenti berbuat, pertanda alam kemajuan kita sudah kiamat. Lagi pula, pemerintah yg seharusnya mendorong semua ini, dan bukan mematahkan semangat sang investor. Bukankah kalau ini semua terlaksana sebagai pejabat daerah, mereka pun diuntungkan?

Dalam hati saya sempat tertawa terbahak-bahak tatkala seorang anggota dewan dengan ciri khasnya yang lihai berorasi menyindir dalam kemasan seba'it pantun, 'jangan sampai, surga yang engkau janjikan, neraka yang engkau berikan'. Pernyataan itu sepertinya lebih cocok diarahkan kepada mereka yang berjanji muluk-muluk tatkala berkampanye minta dukungan rakyat, namun setelah duduk di kursi empuk dengan predikat anggota dewan terhormat, yang pertama dipikirkan adalah, bagaimana mengais limpahan rupiah secepat mungkin, terlepas itu halal atau abu-abu, bahkan hitam sekalipun.

Investasi adalah usaha, dan usaha pasti dilandasi oleh tujuan profit gain. Akan tetapi yang perlu diingat adalah, para pelaku usaha itu punya kewajiban membayar pajak. Itulah serendah-rendah pengabdian suatu badan usaha kepada negara. Adapun Corporate Social Responsibility ada di urutan berikutnya. Dan dengan pajak pun, negara maupun daerah harusnya sudah diuntungkan. Jadi kenapa mesti alergi?

Yang menonjol adalah, kesan bahwa mereka seakan belum apa-apa sudah menuntut hak, padahal kewajiban mereka sehubungan dengan hal tersebut belum tentu pernah terlintas dalam pikiran mereka. Inilah salah satu penyakit pejabat negeri ini pada umumnya. Hak dan wewenang dihapal mati, bahkan dalam tidurnya pun tidak pernah terlupakan, sementara kewajiban dan tanggungjawab, terlipat rapi dalam tumpukan map-map dalam rak di ruang kerja. Namun kalau hanya sekedar menuntut hak, tidaklah terlalu menjadi ganjalan. Namun kalau itu sudah menjurus ke arah merampok, pertanda negara akan tetap jadi bangsa kuli.

Dalam tulisan, berkarya sebelum menuntut, kami sedikit memaparkan tentang pentingnya menuntaskan kewajiban sebelum menuntut hak. Dalam case ini pun ada kemiripan. Penuhi tanggungjawab sebelum berkoar-koar berhubungan dengan wewenang yang ada. Atau minimal seimbangkan lah antara keduanya. Dan kenyataan yang ada dimasyarakat kita, pejabat publik kurang atensi pada keseimbangan wewenang dan tanggungjawab ini. Akibatnya, banyak dari mereka justru disibukkan oleh aktifitas berlomba memperkaya diri. Jadi pejabat, yang pertama ada dalam benak bukan berbuat sesuatu untuk sebesar-besar kemajuan rakyat, melainkan bayangan sebuah rumah di Panakkukang Mas. Sungguh ironis.

Kami sempat mengamati sekeliling di daerah ini, bahkan kendaraan roda empat dominan plat merah. Artinya, bersumber dari uang rakyat. Rumah 'mewah', hampir pasti milik seorang pejabat daerah. Kalaupun ada segelintir yang lain, adalah milik pengusaha daerah papan atas. Kemakmuran rakyat biasa dimana? Jawabannya sudah terwakili oleh pejabat daerah yang mereka pilih sendiri.

Kembali ke masalah investasi, iklimnya di negeri ini secara umum memang sungguh menyedihkan. Oleh karena itu, investor asing lebih memilih lari ke China, Malaysia, Singapura dan Thailand. Padahal biaya SDM kita mungkin hanya seper-sekian dari negara-negara tersebut. Dan penyebabnya lebih terfokus ke prilaku oknum-oknum di kantor pemerintahan kita. Toh yang investor harapkan cuma 3 point utama yaitu kepastian hukum, jaminan keamanan, dan kepabilitas SDM. Oleh karena itu, perbaiki itu semua, dan investor akan berbondong-bondong datang, dan bukan justru menakut-nakuti calon investor, atau bahkan "memalaki" duluan. (@ef, 05 Juni 2007)

HermanLaja.COM